Selasa, 17 November 2009

KONSEP ALAM BERTINGKAT

KONSEP ALAM BERTINGKAT
Oleh : Bhagawan Dwija
Om Swastyastu,
Salah satu filsafat yang berkaitan dengan pola hubungan antara manusia
dengan alam (bagian dari Trihitakarana) adalah konsep keadaan alam yang
bertingkat yaitu "Alam Atas" (Swahloka), "Alam Tengah" (Bhuahloka), dan
"Alam Bawah" (Bhurloka), yang masing-masing mempunyai sifat : Swahloka
adalah Utama, Bhuahloka adalah Madya, dan Bhurloka adalah Nista, dan
dikaitkan dengan "stana" yaitu Swahloka adalah alam Dewa, Bhuahloka
adalah alam manusia, dan Bhurloka adalah alam mahluk rendahan.
Dari pemahaman demikian berkembanglah tatanan : Utama-Madya-Nista
baik secara vertikal maupun secara horisontal. Oleh karena manusia
sebagai konsep sentral pemikiran, maka terjadilah pasangan-pasangan
antinomis seperti :
1.
Kepala manusia disebut sebagai utama, badan disebut sebagai
madya, dan kaki disebut sebagai nista.
Kepala dan badan digabung sebagai "Hulu" dan kaki sebagai "Teben".
Gunung (Keadiya) yang dianggap sebagai stana Dewa-Dewa dipandang
sebagai hulu, dan Laut (Kelot) dipandang sebagai teben. Posisi tidur
meletakkan kepala di hulu dan kaki di teben.
Posisi palinggih-palinggih di Sanggah Pamerajan atau di pura-pura, posisi
duduk diantara orang tua dan anak, antara Sulinggih dan Walaka, dll.
semuanya memperhatikan masalah hulu-teben ini.
2.
Purwadaksina (pradaksina) dan Prasawiya (utarayana), yang artinya
berputar ke kanan (searah jarum jam) dan berputar ke kiri (berlawanan arah
jarum jam), dipahami sebagai peningkatan status atau menuju
Swahloka-Utama (untuk Purwadaksina), dan sebagai penurunan status atau
menuju Bhurloka-Nista (untuk Prasawiya).
Dalam penyelenggaraan upacara yang memerlukan perputaran hendaknya
dipikirkan (jangan dihafalkan) apakah perputaran itu dianggap menuju
Utama atau menuju Nista; jika dianggap menuju Utama, lakukanlah
Purwadaksina; jika dianggap menuju Nista lakukanlah Prasawiya.
Pandita meminta hal ini tidak dihafalkan, tetapi dimengerti, karena untuk
upacara yang sama, tidak selalu perputarannya sama.
Contohnya, upacara mabeakala. Untuk pengantin, mabeakala maknanya
ma-bhuta saksi; oleh karena itu perputarannya ke kiri (Prasawiya). Untuk
Page 1 of 3 .
bapak-ibu yang akan mengupacarakan tiga bulanan anaknya, mabeakala
maknanya meninggalkan masa cuntaka karena melahirkan; oleh karena itu
perputarannya ke kanan (Purwadaksina).
Mekalahyas, dan Ngider Ida Bethara selalu ke kanan (Purwadaksina)
karena menuju Swahloka-Utama.
Memutar mayat/wadah/lembu selalu ke kiri (Prasawiya) karena maknanya
menurunkan status-Nista, dan perpisahan dengan alam Bhuwahloka. Tetapi
perputaran abu jenasah yang akan dihanyut ke segara, dan juga perputaran
abu sekah, selalu dilakukan ke kanan (Purwadaksina) karena maknanya
peningkatan status menuju Swahloka-Utama yaitu dari status Sang Lina
(mayat) menjadi Sang Pitara (ketika Nyekah) dan menjadi Dewa Hyang
(ketika mepaingkup di Sanggah Pamerajan).
3.
Konsep Kiwa-Tengen atau juga disebut sebagai Pangiwa-Panengen atau
dalam Bahasa Indonesia Kiri-Kanan, mengambil anatomi tubuh manusia,
karena manusia dianggap sebagai sentrum (sentral pemikiran).
Konsep ini dikaitkan dengan "Ruabhineda" di mana Kanan adalah Dharma,
dan Kiri adalah Sakti. Filsafat ini masuk ke dalam "Praja" (keluarga) di mana
ibu-ibu rumah tangga disebut sebagai Tengen karena melaksanakan
Dharmaning Praja, yaitu tugas-tugas : mengatur rumah tangga, menyiapkan
bebanten/sajen, memelihara anak-anak, merawat mertua, dll.
Ayah sebagai kepala keluarga berkewajiban menghidupi keluarga atau
dengan kata lain mencari nafkah. Untuk mencari nafkah ia harus bekerja
dengan menggunakan kekuatan badan dan pikirannya atau dengan istilah
filsafat Hindu, ia harus menggunakan kesaktiannya; itu berarti pihak ayah
(laki-laki) disebut sebagai Kiwa.
Lebih jauh filsafat ini memasuki posisi Rong Tiga (Kemulan), di mana rong
sebelah kanan adalah untuk Pradana (Wanita), rong kiri adalah untuk
Purusa (Laki-laki) dan rong tengah untuk Suniaatma.
Kiri-kanan dalam Rong Tiga adalah dari Linggih Kemulan, tegasnya bila
Kemulan menghadap ke Barat, yang kiri adalah yang di Selatan, dan yang
kanan adalah yang di Utara. Bila Kemulan menghadap ke Utara, yang kiri
adalah yang di Barat, dan yang kanan adalah yang di Timur.
Menanam ari-ari, bila bayinya perempuan ditanam di kanan (sebelum)
pemedal rumah, dan bila laki-laki ditanam di kiri (sebelum) pemedal rumah,
kanan dan kiri dari pandangan rumah menuju jalan.
Meletakkan Tugu (Sedahan Karang) tidak memperhatikan kiri-kanan tetapi
memperhatikan hulu-teben. Letakkanlah di bagian teben dari tanah
pekarangan, karena yang di hulu adalah Kemulan Rong-3.
Cara berbusana bagi wanita, ujung wastra dan kampuh selalu menuju ke
Page 2 of 3 .
kanan (dari arah kiri) dan sebaliknya bagi laki-laki.
Sumber sastra : Lontar-lontar Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, dan
Gong Besi.
Om Santih Santih Santih Om
-----------@----------
This page comes from Stiti Dharma Online:
http://stitidharma.org/main
The URL for this page is:
http://stitidharma.org/main/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid
=139

PALINGGIH HYANG KOMPIANG, KAWITAN, PAIBON, PADARMAAN

PALINGGIH HYANG KOMPIANG, KAWITAN, PAIBON, PADARMAAN
Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya
Oleh : Bhagawan Dwija
Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat
karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu
rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat
mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk
Pulau Bali tidak "ngaturang aci" dan bersembahyang ke Pura Besakih.
Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun yaitu sejak tahun
959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar
dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai
Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan
sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura
Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang
ke Besakih.
Setiap yang datang ditangkap lalu digiring ke hadapan raja Mayadanawa.
Disaksikan oleh para patihnya yaitu Kryan Patih Kalawong dan Kryan
Bedawong, Raja lalu bersabda : "Renge ling ngong, samangke ngong
angrenge wrtha kunang padartanya ring Basukih hana Dewa, hana Dalem;
ndi hana Dalem waneh lawan ingong, ingong Dalem, ingong Dewa yatika
tan tuhu mangkana sinembah dening wong Bali... dst... iti ta wang ingong
Dalem jati, yan ri Dalem Kadewatan dudu Dalem, ing Basukih dudu Dewa,
ingong Dewa jati, ingong haturi widhi wedana mwah sembahen ta ingong
asung uripta, mwah samidinta... dst"
Jadi, singkatnya, Mayadanawa telah menyatakan dirinya : "akulah Dewa
yang patut kamu sembah, janganlah menyembah Dewa yang ada di
Besakih".
Ini membuat para Dewa di Kahyangan memutuskan untuk memusnahkan
Mayadenawa. Bhatara Indra diutus untuk tugas suci ini, dan akhirnya
Mayadanawa dikalahkan. Bhatara Indra lalu menitahkan agar rakyat Bali
membangun kahyangan di Desa masing-masing, taat ngaturang aci, dan
bersembahyang di Besakih.
Aci yang dititahkan itu adalah : Eka Bwana, Panca Walikrama, dan Eka
Dasa Rudra. Di saat itu Ida Bethara Samodaya nyejer di Besakih, dan
ketangkil oleh seluruh rakyat yang tinggal di Pulau Bali. Bagi Para Rsi, Mpu,
dan arwah leluhur perintis pertama yang datang di Bali dibuatkan palinggih
di Besakih agar dapat ngiring Ida Bethara Samodaya.
Itulah antara lain yang merupakan awal dibangunnya Pura Pedarmaan di
Besakih. Kemudian perkembangan ini lebih pesat setelah kedatangan Mpu
Kuturan di Bali pada tahun 1001 Masehi. Beliau menata kembali
Page 1 of 3 .
parahyangan mulai dari Sanggah Kemulan Rong Tiga untuk pawongan
(rumah tangga),
Sanggah Pamerajan untuk beberapa rumah tangga, di mana dipuja arwah
suci para leluhur yang berasal dari garis satu waris; lebih besar dari
Sanggah Pamerajan adalah berturut-turut : Pura Panti dan Pura Paibon,
untuk penyungsungan bagi beberapa Sanggah Pamerajan, Pura Dadia
untuk penyungsungan bagi beberapa Panti dan Paibon, dan Pura Kawitan,
untuk penyungsungan bagi beberapa Dadia.
Perbedaan status Pura-Pura tersebut ditentukan oleh :
1. Jumlah penyungsung.
2. Jumlah dan jenis Palinggih yang ada.
3. Historis (sejarah berdirinya Pura-Pura itu).
Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti,
Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/
susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena
masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah
pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena
demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam
hitungan abad (ratusan tahun).
Selanjutnya mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai
berikut : Palinggih Hyang Kompiang merupakan fenomena baru dalam
perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970 yaitu
beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa
Rudra (1963) di Pura Besakih.
Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan untuk "membersihkan" setra, sehingga
pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben. Upacara pengabenan dilanjutkan
dengan nuntun Dewa Hyang/Hyang Kompiang ke Pura Dalem Puri di
Besakih. Setelah nuntun lalu Dewa Hyang distanakan di Sanggah
Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas; palinggih itu
dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa Hyang.
Tempatnya berbeda-beda, ada yang di jeroan Sanggah Pamerajan, ada
pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan. Sumber sastra mengenai
Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.
Dasarnya membangun Palinggih Dewa Hyang kemungkinan adanya
persepsi yang berbeda mengenai fungsi Kamulan yang menyatakan bahwa
Kamulan adalah stana Sanghyang Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Iswara
atau Sanghyang Tiga Sakti, oleh karenanya Dewa Hyang kurang tepat
distanakan bersama-sama dengan Sanghyang Tri Murti, sehingga perlu
dibangun palinggih tersendiri.
Banyak sumber sastra tegas-tegas menyatakan bahwa Kamulan adalah
stana Atman yang sudah bersih.
Page 2 of 3 .
Kutipan Lontar Gong Wesi : "...ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen
Bapanta nga Sang Paratma ring Kamulan Kiwa ibunta ngaran sang Siwatma
ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring
dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga..."
Kutipan Lontar Usana Dewa : "...ring Kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring kamulan kiwa ibu
ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma
dadi meme bapa meraga Sanghyang Tuduh"
Kutipan dari Lontar Siwagama : "...kramania Sang Pitara mulihang batur
Kamulanya nguni..."
Selanjutnya adalah kutipan Lontar Purwabhumi Kamulan : "...ring wus
mangkana, ikang daksina pengadegan Sang Dewa Pitara tinuntunakena
maring sanggah Kamulan, yan lanang unggahakena maring tengen, yan
wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya
nguni, winastu jaya-jaya de sang Pandita kina bhaktyanana muwah dening
swarganya mwang sentanan nira..."
Semua bukti sastra itu dikuatkan dengan konsep Sanggah Pamerajan
menurut Mpu Kuturan, bahwa Sanggah Pamerajan adalah tempat suci untuk
pemujaan arwah leluhur, di mana palinggih utamanya adalah Kamulan.
Pemujaan terhadap roh leluhur yang suci didasarkan pada pengertian
bahwa karena tujuan akhir adalah bersatunya Atman dengan Brahman (Ida
Sanghyang Widhi atau Sanghyang Tri Murti atau Sanghyang Tiga Sakti)
maka roh suci leluhur itu disembah, didoakan, dan di-identikkan dengan
Sanghyang Tiga Sakti (dalam konsepsi Moksha).
Di sinilah letak perbedaan persepsi yang dikemukakan di atas.
-----------@----------
This page comes from Stiti Dharma Online:
http://stitidharma.org/main
The URL for this page is:
http://stitidharma.org/main/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid
=147
Page 3 of 3 .

Yadnya sesa

Yadnya sesa/banten saiban merupakan salah satu yadnya atau persembahan yang dilakukan setiap hari yang sering di sebut dengan Nitya Karma. Yadnya sesa ini dilakukan setelah selesai memasak dan sebelum menikmati makanan yang telah dimasak.
Melaksanakan persembahan atau yadnya merupakan kewajiban serta tugas bagi umat Hindu untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas dan kewajiban tersebut hendaknya dilandasi dengan dharma dan etika yang baik serta ketulusan hati. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian yadnya merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus iklas tanpa adanya harapan untuk medapatkan imbalan-imbalan.
 
Yadnya sesa atau mebanten nasi seusai masak juga merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Dengan tujuan agar memperoleh kehidupan dan penghidupan, dengan mengambil pijakan dari sloka Bhagawad Gita III, 13 yang berbunyi :
Yadjna sistasinah santo, Mucuante sarwa kilbisaih, Bunjate te twagham papa, Ye pacanty atma karanat.
 
Yang artinya " ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosanya sendiri ".
 
Penggambaran dari sloka tadi berarti bahwa sebelum menikmati sesuatu persembahkanlah terlebih dahulu sebagai cetusan Angayubagia atas Waranugrahanya. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini. Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yadnya sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup didunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri, hidup untuk meyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri.

Dari penjelasan tadi tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryadnya, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yadnya sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yadnya sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yadnya sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menenteramkan kehidupan makhluk yang lainnya. Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Serta diperlukan pula bantuan dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan "Panca Maha Butha" yakni adanya kekuatan tanah/pertiwi, air/apah, panas/api/teja, angin/bayu, ether/akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kemahakuasaan Hyang Widhi melalui maifestasinya yang disebut dengan Tri Murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyupatannya. Dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperolehlah nasi itu. Proses inilah yang merupakan suatu kerjasama manusia baik secara Sekala maupun Niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu di persembahkan kembali pada kekuatan alam lainnya melalui yadnya sesa/banten saiban itu sendiri.

Dengan demikian dapatlah di artikan bahwa yadnya sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makananya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran dan garam yang dialasi dengan taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatiya. Persembahan yadnya sesa ini di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting. Kita sebagai umat Hindu dan sebagai umat manusia yang diciptakan dengan yadnya, maka sudah sepatutnyalah kita melaksanakan yadnya; baik untuk menyucikan diri, mendekatkan diri pada Tuhan maupun sebagai ucapan terima kasih kita pada apa yang telah kita peroleh di dunia ini.

Pitra Yadnya

 
1.Latar belakang dan pengertian.
Melaksanakan upacara yadnya termasuk di dalamnya upacara Pitra Yadnya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat Hindu. Upacara Pitra Yadnya terdiri dari:
1.Upacara Sawa Wedana
bermakna mengembalikan unsur- unsur Panca Maha Bhuta (Sthula sarira) dan menyucikan
atma orang yang telah meninggal) dunia.
2.Upacara Atma Wedana
bermakna menyucikan suksma sarira dan atma sebagai kelanjutan dari upacara Sawa Wedana. Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Dewa Hyang) dapat dilaksanakan berupa menstanakan kembali atma (roh suci) yang diyakini telah mencapai "Atmasiddha dewata".
di Sanggah Kamulan (Pemerajan) atau Pura Kawitan (Pura Leluhur).
2.Tujuan dan fungsi upacara.
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Menstanakan Dewa Hyang/ Atma leluhur diyakini telah suci) bertujuan untuk menjalin bhakti keturunan atau santana dengan para leluhur di samping juga melalui para leluhur umat manusia dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi.

Adapun fungsi upacara pemujaan kepada para leluhur ini adalah sebagai sarana supaya para leluhur dapat memberikan perlindungan dan pengayoman kepada keturunannya, di samping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
3.Tata Pelaksanaan.
1.Rangkaian upacara
1.Setelah melaksanakan upacara Atma Wedana, dilanjutkan pula dengan upacara Nyegara Gunung/ Nyegara Giri atau Majar- ajar ke laut dan ke gunung.
2.Upacara selanjutnya adalah menstanakan atau Ngalinggihang Dewa Pitara atau Dewa Hyang dengan rangkaian sebagai berikut
1.Nuntun dari pura Dalem (Kahyangan Tiga, Segara atau Pura Dalem Puri Besakih.
2.Dilanjutkan dengan upacara menstanakan Ngalinggihang di Sanggah Kamulan (Pamerajan) atau Pura Kawitan (leluhur).

Penjelasan :
3.Bagi yang nuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga)
Pertama melaksanakan upacara mempersembahkan sesajen (ayaban) ke hadapan Ida Bhatara di pura Dalem (Siwa). Selanjutnya pimpinan upacara (Pinandita atau. Pandita) memohon supaya leluhur keluarga yang bersangkutan (yang memohon) diperkenankan disthanakan pada Sanggah Kamulan (Pamerajan), Pura Kawitan atau pura leluhur.
Sarana yang dipergunakan adalah "Daksina palinggih" yang kemudian dilanjutkan dengan upacara Pradaksina mengelilingi palinggih Pura Dalem tiga kali. Sebelum upacara ini dilaksanakan terlebih dahulu dipersembahkan Segehan Agung dengan "penyambleh ayam Hitam". Dewa Pitara (Dewa Hyang kemudian diiring menuju Sanggah Kamulan (Pemerajan), Pura Kawitan atau Pura Leluhur untuk disthanakan.
4.Bagi yang memilih nuntun dari segara rangkaian upacaranya hampir sama dengan menuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga) dengan tambahan mapekelem (persembahan sesajen yang dilabuh ke laut) berupa sajen suci hitam, itik hitam dan salaran.
5.Bagi yang memilih menuntun di Pura Dalem Puri upacaranya lebih besar dan upacara (l) dan (2) di atas. dengan pertama melaksanakan upacara di Pura Segara Gua Lawah dan dilanjutkan. dengan upacara ke Pura Dalem Puri. Sebelum menuju Pura
Dalem Puri terlebih dahulu mempersembahkan sesajen "Piuning" ke Pura Manik Mas, Bangun Sakti, Ulun Kulkul, Pura Gua dan Pura Banua.
Perjalanan selanjutnya dan Pura Manik Mas menuju pura Dalem Puri terlebih dahulu menyeberangi Titi Gonggang dan Batu Macepak yang terletak pada jurang sebelah barat Pura Manik Mas.
Pada kedua tempat ini (Titi Gonggang dan Batu Macepak) mempersembahkan sesajen Pejati atau Penebusan. Setelah selesai memohon Dewa Pitara di Dalem Puri dilanjutkan dengan mempersembahkan Pejati di Pura Basukihan, Padharman (bila yang bersangkutan memiliki Padharman) dan diakhiri dengan mempersembahkan Pejati di Pura Penataran Agung.
2.Upakara (Sesajen).
Adapun upakara atau sesajen dan sarana yang merupakan inti adalah : Banten saji Dewa Putih Kuning, Jerimpen Agung, Sesayut, Pangulapan, Pengambyan, Benang Tri Datu (tiga .warna : merah, putih, hitam) satu tukel (satu gulung),uang kepeng 225 biji yang diikatkan pada benang
tridatu. Sebuah tutup (tombak) yang diikat dengan benang tridatu dialasi l buah kelapa yang dikupas serabutnya, diisi beras, pada ujung tombak dilengkapi dengan "Sat- sat" dari janur di samping sebuah daksina palinggih dan kain sebagai Tigasana.
Penjelasan:
Jumlah dan sarana upakara (sesajen) disesuaikan dengan kemampuan (desa, kala, patra) serta petunjuk Pinandita atau Pandita.
3.Puja Mantra :
Puja Mantra disesuaikan dengan manifestasi Sang Hyang Widhi yang dipuja :
1.Durgastawa.
2.Sagarastawa.
3.Pertiwistawa.
4.Gurustawa.
5.Saraswatistawa.
6.Prajapatistawa.
7.Dan lain- lain sesuai dengan lokasi pura dan sarana upakaranya.

Penjelasan :
Bila yang memimpin upacara seorang Pinandita (Pamangku) hendaknya mempergunakan "seha" sesuai dengan kewenangannya.
4.Sumber ajaran.
Pemujaan Dewa Pitara atau Pitara yang telah suci adalah merupakan salah satu pokok ajaran agama Hindu yang mengajarkan penyembahan kepada leluhur yang telah suci atau Dewa Pitara di samping menyembah Ida Sang Hyang Widhi dan Dewa- Dewa sebagai manifestasi Nya. Pemujaan leluhur yang telah suci itu diajarkan dalam kitab suci agama Hindu dan sastra- sastranya yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan umat di mana agama Hindu itu berkembang. Sumber- sumber ajaran tersebut antara lain sebagai berikut:
1.Weda.
2.Itihasa dan Purana.
3.Negara Kertagama.
4.Wrhaspatitattwa.
5.Siwagama
6.Siwatattwapurana.
7.Purwabhumikamulan.
8.Puja Mamukur.
9.Yama Purwanatattwa.
10.Pitutur Leburgangsa.
11.Sanghyang Leburgangsa.
 

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru
 
1.Pengertian.
Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
2.Fungsi Meru ada dua macam.
1.Tempat pemujaan Istadewata seperti meru di Kiduling Kreteg tempat pemujaan Brahma, dan sebagainya. Di Pura Batu Madeg tempat pemujaan Wisnu.
2.Tempat pemujaan bhatara-bhatari seperti pada padarman-padarman di komplek pura Besakih dan sebagainya.
3.Untuk membedakan jenis meru, pemujaan istadewata dan bhatara- bhatari antara lain
1.Dari segi pedagingan.
2.Dari .segi puja/ stawa.
3.Bentuk meru
1.Ciri umum bentuk meru
1.Dapat dibedakan dasar, badan, atap
2.Bangun dasarnya segi empat
2.Khusus
1.Ada jenis meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan tempat untuk sembahyang, dan ada pula meru yang badannya berbentuk "banyah" (pejal) yang ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat bersembahyang
2.Atap meru bertumpang dan sebanyak- banyaknya tumpang- 11 (sebelas)
3.Arti susunan atap meru yang pada umumnya gasal adalah melambangkan patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara.
3.Struktur
1.Bagian dasar menggunakan struktur masif (pejal)
2.Bagian badan dan atap memakai struktur kerangka. Bahannya diutamakan memakai kayu dan atap ijuk.
Catatan
Rumusan tinjauan filosofis dan fungsi meru ini dapat merupakan penguat dan pelengkap dari keputusan tentang meru sebelumnya.

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru
 
1.Pengertian.
Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
2.Fungsi Meru ada dua macam.
1.Tempat pemujaan Istadewata seperti meru di Kiduling Kreteg tempat pemujaan Brahma, dan sebagainya. Di Pura Batu Madeg tempat pemujaan Wisnu.
2.Tempat pemujaan bhatara-bhatari seperti pada padarman-padarman di komplek pura Besakih dan sebagainya.
3.Untuk membedakan jenis meru, pemujaan istadewata dan bhatara- bhatari antara lain
1.Dari segi pedagingan.
2.Dari .segi puja/ stawa.
3.Bentuk meru
1.Ciri umum bentuk meru
1.Dapat dibedakan dasar, badan, atap
2.Bangun dasarnya segi empat
2.Khusus
1.Ada jenis meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan tempat untuk sembahyang, dan ada pula meru yang badannya berbentuk "banyah" (pejal) yang ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat bersembahyang
2.Atap meru bertumpang dan sebanyak- banyaknya tumpang- 11 (sebelas)
3.Arti susunan atap meru yang pada umumnya gasal adalah melambangkan patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara.
3.Struktur
1.Bagian dasar menggunakan struktur masif (pejal)
2.Bagian badan dan atap memakai struktur kerangka. Bahannya diutamakan memakai kayu dan atap ijuk.
Catatan
Rumusan tinjauan filosofis dan fungsi meru ini dapat merupakan penguat dan pelengkap dari keputusan tentang meru sebelumnya.

Tatacara membangun rumah

1.Landasan filosofis, etis. ritual
1.Landasan filosofis.
1.Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
2.Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
2.Landasan Etis
1.Tata Nilai.
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala
2.Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
3.Landasan ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

2.Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam:
1.Keseimbangan alam
2.Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3.Tri Angga dan Tri Mandala.
4.Harmonisasi dengan lingkungan.
 
5.Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
6.Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
7.Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap,
Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
8.Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

3.Pemilihan Tanah Pekarangan.
1.Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
2.Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
1.karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3.karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4.karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5.karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6.karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7.karang tenget,
8.karang buta salah wetu,
9.karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10.karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11.tanah yang berwarna hitam- legam, berbau "bengualid" (busuk)
3.Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

4.Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
1.Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
2.Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
3.Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

5.Dewasa Membangun Rumah.
1.Dewasa Ngeruwak:
Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
2.Nasarin:
Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
3.Nguwangun
Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
4.Mengatapi
Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
5.Memakuh/ Melaspas
Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

6.Upacara Membangun Rumah.
1.Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae.
Setelah "Angrubah sawah" dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
2.Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
3.Upakara Pemelaspas.
Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng.
Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara dan upakara tersebut di atas disesuaikan
dengan kondisi setempat

Trisandya

Sekilas tentang Trisandya
OM Svastyastu,
SEKILAS TENTANG TRISANDYA
Jeromangku_sudiada@yahoo.com

Setelah sekian lama Trisandya diperdebatkan dalam HD-Net ini, khususnya mengenai bait yang kedua yang telah dipengal penterjemahannya yaitu : Tuhan yang Tak terlahirkan, Tuhan tidak ternodai, Tuhan tidak terpikirkan dan akhirnya cendrung dipelesetkan : “TUHAN TIDAK ADA” bersama ini perkenankanlah Mangku mengulas sedikit tentang Trisandya, yang sangat kental dengan hidup dan kehidupan kita khususnya yang beragama Hindu, dimana pemujaan Tuhan dengan kata-kata umunya dilaksanakan dengan sembahyang tiap-tiap hari, atau lazimnya dilakukan dengan sembahyang tigakali sehari yang sering disebut dengan istilah “PUJA TRISANDYA” Three = Tiga (3) Sandya = Kala / waktu. Jadi pemujaan yang dilakukan tiga kali sehari dalam kurun waktu tertentu, dipagi hari, siang hari dan sore hari.

Tehknis Puja Trisandya serta Tecks aslinya Mangku akan jelaskan pada kesempatan lain. Mangku akan menjelaskan secara universal purpose dari Trisandya itu mengandung tiga tujuan utama yang terdiri dari :

Bait Pertama dan kedua adalah merupakan ”PENGAJUM” atau memulyakan Bait ke III dan ke IV adalah merupakan ”STATEMENT” pernyataan diri Bait ke V dan ke VI merupakan ”HOPEFULLY” , khususnya permohonan maaf.

Mari kita mulai dari susunan mantram yang ada dalam Puja Trisandya.

Puja trisandya terdiri dari enam kumpulan mantram, mantram pertama disebut Gayatri mantram. Ritmenya-pun disebut dengan Gayatri, sedangkan irama-irama lainya misalnya Anustup, tristup, Canustup, Pragatah, Jagati, sedangka di Bali yang sering di iramakan oleh sulinggih adalah dengan Reng, Ritme Sloka (anak anak sekolah ) dan Cruti perhatikan di Bali TV bait I & II. agak beda dengan bait ke III dan seterusnya

1. Mantram Pertama Didalam Rg Veda III.62.10. Kata Bhur, Bvah, Svaha, tidak ada pada mantram ini, tambahan Bhur Bvah svaha ini didapatkan pada Yayur Veda Putih 36.3.

Gayatri Mantram adalah satu satunya mantram yang sering dilontarkan oleh Ide sang sulinggih, sedangkan yang lainnya adalah merupakan puja stava berupa sloka. Gayatri mantram sering disebutkan sebagai ibu dari semua mantram, atau yang paling mulya, dibawah ini Mangku cuplikan statementnya yang berbunyi sebagai berikut:

”One reason why the Gayatri is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that cavable of possessing “dhi” higher intelligence which brings him knowledge, material and transcendental. What the eye is to the body “dhi” or intelligence is to the mind

Wijaksara Om adalah hurup atau prenawa suci dalam agama Hindu, dengan Om seorang brahmana mulai mengucapkan “SEMOGA SAYA SAMPAI PADA BRAHMAN” Savitar Tuhan yang maha mulia, kemuliaan sumber dari cahaya cemerlang marilah kita memusatkan pikiran kepada sumber cahaya, semoga ia memberi semangat.

2. Sloka yang kedua.
Dalam sloka ini pemuja memuja tuhan seluruh sekalian alam, Tuhan suci tidak ternoda, Ia hanya tunggal tidak ada yang kedua. Sloka ini adalah satu dari suatu rangkaian sloka yg panjang disebut dengan Catur Veda Sirah. Ini adalah salinan dari veda Narayanad upanisad, sebuah upanisad kecil. Supaya tidak penasaran Arti dari Bait ke II secara letterlijeknya adalah sebagai berikut.

Tuhan hanya ini, semua yang telah ada, dan yang akan ada, bebas dari noda, Bebas dari kotoran, bebas dari perubahan, tak dapat digambarkan yang maha suci Tuhan satu satunya tidak ada yang kedua.

3. Sloka yang ke III
Oleh Pemuja Tuhan yang tunggal, disebut dengan banyak nama, Iya disebut Siva, Mahadewa, Iswara, Prameswara, Brahman, Wisnu dan Rudra dan..... masih banyak lagi sebutan yang lainya.

4. Sloka yan ke IV. (statement )
Pemuja mengatakan pengakuan dirinya serba kurang, serba hina, serba lemah, Hina lahir dan bathin

5. Sloka yang ke V. ( Permohonan ampun ) Dalam sloka ini atas dosa, dosa, kekurangan dsbnya, pemohon memohonkan agar dilindungi dan dibersihkan atas segala noda.

6. Sloka yang ke VI ( Permohonan ampun dari dosa) Dosa yang keluar dari karya yang dilakukan, dari perkataan yang dilontarkan dan dari pemikiran memohon kepada Tuhan untuk diampuni.

Yah itulah yang Mangku bisa jelaskan dari Puja Trisandya semoga berkenan

Namaste.
MANGKU SUDIADA
Source :   HDNEt

Sejarah Karangasem

SEJARAH KARANGASEM
Sejarah Kerajaan Karangasem
Dalam menguraikan sejarah Kerajaan Karangasem, ada dua buah buku sumber yang dipakai sebagaimana yang ditulis oleh Agung (1991) dan Agung (2001). Nama ‘Karangasem’ sebenarnya berasal dari kata ‘Karang Semadi’. Beberapa catatan yang memuat asal muasal nama Karangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang yang menjulang anggun di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang. Pada tahun 1072 (1150 M) tanggal 12 bulan separo terang, Wuku Julungwangi dibulan Cetra, Bhatara Guru menitahkan puteranya yang bernama Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi” gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul…”, artinya datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata. Hyang Agnijaya diceritakan datang berlima dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Mengenai hal ihwal nama Lempuyang adalah sebagai tempat yang terpilih atau menjadi pilihan Bhatara Guru (Hyang Parameswara) untuk menyebarkan ‘sih’ Nya bagi keselamatan umat manusia. Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata ‘ lampu’ artinya ‘terpilih’ dan ‘Hyang’ berarti Tuhan; Bhatara Guru, Hyang Parameswara. Di Adri Karang inilah beliau Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat beliau bersemadi. Lambat laun Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.
Sejarah Kerajaan Karangasem tidaklah bisa dilepaskan dengan Kerajaan Gelgel terutama pada masa puncak kebesaran di masa pemerintahan Dalem Waturenggong diperkirakan abad XV. Dalam sejarah, kerajaan Gelgel pertama diperintah oleh putra Brahmana Pendeta Dang Hyang Kepakisan bernama Kresna Wang Bang Kepakisan yang diberi jabatan sebagai adipati oleh Patih Gajah Mada.
Setelah dilantik, beliau bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Samprangan pada tahun saka 1274 (1352 M). Dalam pengangkatan ini disertai pula dengan pakaian kebesaran serta keris yang bernama I Ganja Dungkul dan sebilah tombak diberi nama I Olang Guguh.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan kemudian wafat pada tahun caka 1302 (1380 M) yang meninggalkan tiga orang putra yakni I Dewa Samprangan (Dalem Ile) sebagai pengganti raja, I Dewa Tarukan, dan I Dewa Ktut Tegal Besung (Dalem Ktut Ngulesir). Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura). Beliau abiseka Dalem Ktut Semara Kepakisan pada caka 1305 (1383 M). Beliau inilah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang masih sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit untuk menyatakan kesetiaan. Di Majapahit beliau mendapat hadiah keris Ki Bengawan Canggu yang semula bernama Ki Naga Besuki, dan karena tuahnya juga dijuluki Ki Sudamala.
Dalem Ketut Semara Kepakisan juga sempat disucikan oleh Mpu Kayu Manis. Namun, beberapa tahun lamanya setelah datang dari Majapahit, beliau wafat pada caka 1382 (1460 M), dan digantikan oleh putra beliau bernama Dalem Waturenggong. Beliau ini dinobatkan semasih ayahnya hidup pada caka 1380 (1458 M). Jaman keemasan Dalem Waturenggong dicirikan oleh pemberian perhatian terhadap kehidupan rakyat secara lahir dan batin. Masyarakat menjadi aman, tenteram, makmur, dan kerajaan meluas sampai ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang kesusastraan juga mencapai puncak keemasan dengan lahirnya beberapa karya sastra. Keadaan ini mencerminkan bahwa raja memiliki pribadi yang sakti, berwibawa, adil, serta tegas dalam memutar jalannya roda pemerintahan.
Setelah wafat, Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yang belum dewasa yaitu Dewa Pemayun (Dalem Bekung) dan I Dewa Anom Saganing (Dalem Saganing). Karena umurnya yang masih muda maka diperlukan pendamping dalam hal menjalankan roda pemerintahan.
Adapun lima orang putra yang menjadi pendamping raja yaitu putra I Dewa Tegal Besung (adik Dalem Waturenggong) diantaranya I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pagedangan. Jabatan Patih Agung pada saat itu dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk dan semua kebijakan pemerintahan dipegang oleh Patih Arya Batanjeruk. Melihat situasi seperti ini, pejabat kerajaan menjadi tidak puas. Suatu ketika disebutkan kepekaan para pembesar istana saat raja yang masih belia itu dihadap para pembesar. Raja yang masih suka bermain-main ke sana-ke mari selalu duduk di pangkuan Ki Patih Agung. Dalem Pemayun duduk di atas pupu sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom Saganing di sebelah kiri. Kemudian kedua raja ini turun lagi dan duduk di belakang punggung Ki Patih. Isu berkembang bahwa I Gusti Arya Batanjeruk akan mengadakan perebutan kekuasaan. Nasehat Dang Hyang Astapaka terhadap maksud ini tidak diperhatikan oleh Ki Patih Agung sehingga kekecewaan ini menyebabkan hijrahnya Dang Hyang Astapaka menuju ke sebuah desa bernama Budakeling di Karangasem.
Kekacauan di Gelgel terjadi pada tahun 1556 saat Patih Agung Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan mengadakan perebutan kekuasaan yang diikuti oleh I Gusti Pande dan I Gusti Tohjiwa. I Gusti Kubon Tubuh dan I Gusti Dauh Manginte akhirnya dapat melumpuhkan pasukan Batanjeruk. Diceritakan Batanjeruk lari ke arah timur dan sampai di Jungutan, Desa Bungaya ia dibunuh oleh pasukan Gelgel pada tahun 1556. Istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka (putra I Gusti Bebengan, adik dari I Gusti Arya Batanjeruk) serta keluarga lainnya seperti I Gusti Arya Bebengan, I Gusti Arya Tusan, dan I Gusti Arya Gunung Nangka dapat menyelamatkan diri berkat pohon jawawut dan burung perkutut yang seolah olah melindungi mereka dari persembunyian, sehingga sampai kini keturunannya tidak makan buah jawawut dan burung perkutut. I Gusti Oka kemudian mengungsi di kediaman Dang Hyang Astapaka di Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Watuaya, Karangasem. Sedikit diceritakan bahwa Dang Hyang Astapaka juga punya asrama di Bukit Mangun di Desa Toya Anyar (Tianyar) dan I Gusti Oka selalu mengikuti Danghyang Astapaka di Bukit Mangun, sedangkan ibunya tinggal di Budakeling membantu sang pendeta bila ada keperluan pergi ke pasar Karangasem.
Pada waktu itu, Karangasem ada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dan yang menjadi raja adalah I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla inilah yang mengawini janda Batanjeruk dengan suatu syarat sesuai nasehat Dang Hyang Astapaka bahwa setelah kawin, kelak I Gusti Pangeran Oka atau keturunannyalah yang menjadi penguasa. Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain yakni bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan pemerintahan kepada I Gusti Oka (raja Karangasem I) inilah menandai kekuasaan di Karangasem dipegang oleh dinasti Batanjeruk.
I Gusti Oka atau dikenal dengan Pangeran Oka memiliki tiga orang istri, dua orang prebali yang seorang diantaranya treh I Gusti Akah. Para istri ini menurunkan enam orang putra yaitu tertua bernama I Gusti Wayahan Teruna dan I Gusti Nengah Begbeg. Sedangkan istri yang merupakan treh I Gusti Akah berputra I Gusti Nyoman Karang. Putra dari istri prebali yang lain adalah I Gusti Ktut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Setelah putranya dewasa, I Gusti Pangeran Oka meninggalkan Batuaya pergi bertapa di Bukit Mangun, Toya Anyar. Beliau mengikuti jejak Dang Hyang Astapaka sampai wafat di Bukit Mangun. I Gusti Nyoman Karang inilah yang meggantikan ayahnya menjadi raja (raja Karangasem II) yang diperkirakan tahun 1611 Masehi.
I Gusti Nyoman Karang menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang setelah menjadi raja bergelar (abhiseka) I Gusti Anglurah Ktut Karang (raja Karangasem III). Beliau ini diperikirakan mendirikan Puri Amlaraja yang kemudian bernama Puri Kelodan pada pertengahan abad XVII (sekitar tahun caka 1583, atau tahun 1661 M). I Gusti Anglurah Ktut Karang berputra empat orang yaitu tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Putranya yang tertua bernama I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga orang putra inilah yang didaulat menjadi raja Karangasem (raja Karangasem IV/Tri Tunggal I) yang memerintah secara kolektif sebagai suatu hal yang dianggap lazim pada jaman itu. Pemerintahan ini diperkirakan tahun 1680-1705.
Selanjutnya yang menjadi raja Karangasem adalah putra I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Made Karang (raja Karangasem V). Selanjutnya I Gusti Anglurah Made Karang berputra enam orang, empat orang laki-laki dan dua orang wanita. Salah seorang dari enam putranya yang sulung bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti yang dijuluki Sang Atapa Rare karena gemar menjalankan yoga semadi sebagai pengikut Dang Hyang Astapaka. Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut dibunuh oleh prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe ketika beliau kembali dari Sangeh.
Diceritakan, atas perkenan Raja Mengwi Sang Atape Rare membangun Pura Bukit Sari yang ada di Sangeh. Sekembalinya dari Sangeh beliau sempat mampir di Gelgel yang pada waktu itu berkuasa adalah Cokorda Jambe. Karena tingkah yang aneh-aneh di istana yang tidak bisa menahan kencing menyebabkan terjadi salah paham, dan dianggap telah menghina raja. Maka setelah keberangkatannya ke Karangasem, beliau dicegat di sebelah timur Desa Kusamba, di padasan Bulatri. sebelum beliau wafat, beliau sempat pula memberikan pesan-pesan kediatmikan kepada putranya yakni I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem. Beliau ini kemudian dikenal dengan sebutan Dewata di Bulatri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Karangasem dan Klungkung (Gelgel) yang dikenal dengan pepet (dalam keadaan perang). Setelah gugurnya Cokorda Jambe, maka ketegangan antara Karangasem dan Klungkung menjadi reda.
Tahta di Karangasem kemudian dilanjutkan oleh tiga orang putranya yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem (raja Karangasem Tri Tunggal II) yang diperkirakan memerintah 1755-1801. Setelah raja Tri Tunggal wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gde Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat ini Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana.
Setelah wafat, I Gusti Gde Ngurah Karangasem digantikan oleh anaknya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan I Gusti Gde Lanang Karangasem. Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem (I Gusti Lanang Peguyangan) menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem dikuasai oleh raja Buleleng I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan punggawa yang bernama I Gusti Bagus Karang tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.
Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gde Cotong menjadi raja Karangasem. Setelah I Gusti Gde Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gde Karangasem.
Pada saat Kerajaan Karangasem jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 Mei 1849, raja Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karangasem gugur dalam peristiwa tersebut sehingga pemerintahan di Karangasem mengalami kekosongan (vacuum). Maka dinobatkanlah raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem sebagai raja di Karangasem oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah berselang beberapa waktu kemudian, raja Mataram menugaskan kemenakannya menjadi raja yaitu I Gusti Gde Putu (Anak Agung Gde Putu) yang juga disebut ‘Raja Jumeneng’, I Gusti Gde Oka (Anak Agung Gde Oka), dan Anak Agung Gde Jelantik.
Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu (1) Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok, (2) Zelfbesturend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli, (3) Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem. Demikianlah di Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder yaitu tahun 1896-1908; I Gusti Gde Jelantik (Dewata di Maskerdam), dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (Dewata di Maskerdam) antar tahun 1908-1941.
Demikian sajian ringkas sejarah Kerajaan Karangasem yang dijadikan gambaran umum kajian pokok objek penelitian. Deskripsi historis hal ini sangat penting mengingat dalam mengupas bagian peristiwa yang termasuk rentetan sejarah tidaklah bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi. Sehingga dalam segi manfaat, dimensi waktu akan dapat ditangkap oleh pembaca mengenai kurun waktu peristiwa dimaksud. Demikian pula dalam kajian ini, maka objek penekanannya adalah saat masa raja Karangasem dinasti Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem.
Masa Dinasti Tri Tunggal I
Masa kekuasaan Kerajaan Karangasem Tri Tunggal I menjadi sajian yang perlu mendapat pemahaman dalam relevansinya menjabarkan objek penelitian. Ketika pemerintahan Kerajaan Karangasem yang diperintah oleh Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem inilah muncul mitologi Pura Bukit sebagaimana diceritakan dalam buku Kupu-Kupu Kuning. Saudara raja Tri Tunggal yang bernama I Gusti Ayu Nyoman Rai diambil menjadi istri oleh Ida Bhatara Gde di Gunung Agung yang kemudian melahirkan Ida Bhatara Alit Sakti yang kini bermukim di Pura Bukit

Padmasana

PADMASANA
Re-writing Version


Oleh: Bhagawan Dwija

1. Sejarah Padmasana

Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa. Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja. Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari. Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa. Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.

2. Pengertian Padmasana

Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai. Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.

3. Stana-Stana di Padmasana

Stana Sanghyang Siwa Raditya.
Dalam lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.

Stana Bhatara Guru.
Sebagai rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.

Stana Bhatara Surya.
Bhatara Siwa acintiya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.

Stana Sanghyang Tri Purusa.
Dalam Wrhaspati Tattwa, Sangyang  Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta. Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai mahluk hidup.

4. Kelengkapan Niyasa Padmasana

a. Bedawangnala
Lontar Kaurawasrama menyebutkan, dasar gunung Mahameru adalah bedawangnala. Dalam bahasa Kawi, bedawangnala terdiri dari dua kata: beda artinya ruang, dan nala artinya api. Jadi bedawangnala artinya ruang yang berisi api atau magma. Lontar Agni Purana (Kurma Awatara) menyebutkan adanya perang yang sengit antara para Dewa dengan para Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa  dikalahkan. Para Dewa mohon agar Wisnu menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta kedua pihak yang berperang mengaduk lautan susu di mana gunung Mandara sebagai tangkai pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali pengaduk. Para Dewa memegang ekor naga dan para Detya memegang kepala naga. Tetapi ketika perputaran dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar tenggelam ke dalam lautan susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kura-kura raksasa kemudian muncul untuk menyelamatkan gunung Mandara. Oleh karena itu bedawang di Bali dilukiskan sebagai kura-kura yang moncongnya menyemburkan api.

b. Naga
Lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah bumi diciptakan  oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala isinya maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air menyurut dan udara mengandung penyakit. Sanghyang Trimurti bermaksud menyelamatkan manusia. Brahma berwujud sebagai Naga Anantabhoga yang berwarna merah berada di dalam inti bumi; Wisnu berwujud sebagai  Naga Basuki yang berwarna hitam berada dalam laut, dan Iswara berwujud sebagai Naga Taksaka yang berwarna putih bersayap berada di udara.

c. Garuda Wisnu
Di lontar Adi Parwa diceritakan sebagai berikut: Sang Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa, Sang Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya dan Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang Garuda. Pada suatu ketika keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang keluar dari pemuteran  gunung Mandaragiri. Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang menang. Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk memenangkan ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam. Sang Winata kalah lalu  menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang Winata, yakni Garuda, ingin membebaskan ibunya dari perbudakan. Garuda kemudian  bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya. Sang Naga memberi  tahu agar  ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda mencari tirta itu ke Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak berhasil. Bhatara Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan Tirta Amertha, namun dengan syarat agar Garuda mau menjadi kendaraan Bhatara Wisnu. Garuda bersedia, dan bersama Wisnu terbang mencari Tirta Amertha.

d. Angsa
Angsa adalah simbul ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk toh lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang baik, di samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur. Di lontar Indik Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah simbul Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya yang bulat lukisan windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbul nada.
 
e. Acintiya
Acintiya artinya tidak dapat dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang dengan api di setiap sendinya serta kaki kanan yang terangkat, kepala tanpa bentuk wajah, dan sikap tangan dewa pratistha. Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol energi kehidupan; kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan kehidupan yang aktif; kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan; sikap tangan dewa pratistha adalah simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasil-hasil ciptaan-Nya.

5. Bentuk, Fungsi, dan Jenis Padmasana

Bentuk dan fungsi Padmasana ada 4, yaitu:
1.
Padma Sari: mempunyai rong satu, tidak memakai Bedawangnala dengan palih telu. Stana Sanghyang Tripurusha
2.
Padmasana: mempunyai rong satu, memakai Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Bhatara Surya
3.
Padma Agung: mempunyai rong dua, memakai Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Sanghyang Siwa Raditya
4.
Padma Angelayang: mempunyai rong tiga, memakai Bedawangnala, dengan palih pitu. Stana Bhatara Guru
   
Jenis Padmasana berdasarkan lokasi menurut pengider-ider bhuana (penjuru mata angin) ada 9 jenis,  yaitu:
1.
Padma Kencana: di timur (menghadap ke barat)
2.
Padmasana: di selatan (menghadap ke utara)
3.
Padmasana Sari: di barat (menghadap ke timur)
4.
Padmasana Lingga: di utara (menghadap ke selatan)
5.
Padma Asta Sedana: di tenggara (menghadap ke barat laut)
6.
Padma Noja: di barat daya (menghadap ke timur laut)
7.
Padma Karo: di barat laut (menghadap ke tenggara)
8.
Padma Saji: di timur laut (menghadap ke barat daya)
9.
Padma Kurung: di tengah merong tiga menghadap ke lawangan (pintu keluar)
   
6. Tata Cara Membangun Padmasana

Upacara dan upakara:

Saat mulai membangun.

Caru pengeruak: yaitu caru ayam berumbun lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya asanca-desa, yaitu
Di timur :  5 tanding
Di selatan :  9 tanding
Di barat : 7 tanding
Di utara : 4 tanding
Di tengah : 8 tanding.
Beralaskan sengkwi bersayap; segehan agung, kawisan, kulitnya dan lain-lain di tempatkan di tengah. Byakala , Durmangala, dan Prayascita masing-masing satu. Segehan agung lengkap dengan penyambleh.

Banten Pemakuhan:  yang terdiri dari peras penyeneng, ajuman putih kuning dagingnya ayam betutu, me-ukem-ukem (di sembeleh dari punggung), daksina yang berisi uang 225, canang lengewangi-buratwangi, canang raka, nyahnyah gula kelapa dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah sanggar di hulu bangunan.

Banten untuk dasar bangbang: adalah tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buhan, lauk-pauk dengan dagingnya ayam biying yang dipanggang, sampian tangga. Banten ini dialasi kulit peras.

Canang Pendeman: adalah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan, dan pesucian, masing-masing satu tanding.

Alat penyugjug terdiri dari sebuah tangkai dapdap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cicin bermata mirah dan sebuah keris. Sebuah bata merah bergambar bedawangnala di mana punggungnya bertulis aksara "Ang" . Sebuah bata merah lain  bergambar padma bertulis dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya. Sebuah batu bulitan bertulis tri aksara: ang, ung, mang. Sebuah klungah nyuh gading bertulis ong-kara. Kelungah dikasturi airnya dibuang lalu ke dalamnya dimasukkan sebuah kwangen berkulit keraras, berisi uang kepeng 33 buah, bertulis ongkara-amertha. Semua banten di atas setelah diupacarai dan disembahyangi, dimasukkan ke dalam lobang dasar bangunan; selanjutnya batu-batu dan adonan semen dapat dicor di atas banten-banten itu.

Setelah bangunan selesai

Upacara Pemakuhan:
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa seni-bangunan) diwujudkan dengan mohon   tirta pemakuh. Peralatan tukang disertakan dalam upacara ini.
Banten Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina, canang lenga wangi, canang burat wangi dan ketipat kelanan. Caru ayam putih  asoroh eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap, paso anyar berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih,  susur pekeramas, toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat, uang, andel-andel berisi benang. Toya pemakuhan dari undagi  yang membuat sikut.
Urutan upacara:
Ngetok sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni mastu astu Ang Ah.
Ngetok lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang umur, jeng, jeng, jeng.
Pangurip getih ayam putih, mantra: Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk bebataran pinaka bungkah nda.
Sendi pinaka pancer nda
Adegan pinaka punyan nda
Abah-abah pinaka pangpang nda
Raab pinaka ron nda
Kelasa pinaka kembang nda
Daging nda, pinaka woh  nda, urip kita jati
Paripurna urip-urip
Penyapsap gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha, menyapuha ganda keringetning wewangunan sidhi rastu.
Semeti, mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada urip.
Baas Daksina, mantra: Om Siwa sampurna  yang namah.
Tatebus, mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah

Upacara Melaspas:
Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista Dewata, menyatukan   sekala dan niskala. Unsur-unsur  sekala adalah bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista Dewata.
Pelaksanaan:
Menghaturkan upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan.
Nyapsap dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna merah, putih, hitam, memercikkan  tirtha pelukatan, memercikkan tirta pasupati, dan memukul bangunan tanda menguatkan pasak.
Sulinggih memuja banten pemelaspas.

Upacara Ngenteg Linggih.

Urutan upacara:

1. Memangguh
Kata memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau kepanggih, yang artinya menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah secara niskala yang kemudian digunakan untuk bangunan Padmasana. Secara skala, bidang tanah diperoleh atau ditemukan dengan membeli, hibah, warisan, dll. Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada Sanghyang Widhi, sebagai pemilik dan penguasa semesta. Banten upacara memangguh pada umumnya berdasar banten bebangkit dengan runtutannya.

2. Nyengker
Nyengker artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat penjuru mata angin, yaitu: utara, selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai lanjutan upacara memangguh, dengan pengertian skala dan niskala pula. Secara skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala, sengker adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang Widhi. Pelaksanaan upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung beras (putih) sekeliling pagar bidang tanah. Bantennya: prayascita, pengulapan, pengambean.

3. Memirak
Memirak dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya membeli. Memirak juga ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas ijin dan karunia-Nya karena telah memberikan sebidang tanah. Selain itu dengan upacara memirak, kepada Sanghyang Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan status tanah, yang sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan kini sudah menjadi sebuah halaman Pura. Banten upacara memirak, dasarnya suci ageng dengan runtutannya, dan seekor babi guling sebagai kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari Pertiwi, dibuat sebuah daksina lingga yang setelah upacara selesai akan dihaturkan ke Pura Subak. Setelah banten pemirak selesai dipuja oleh Sulinggih, maka bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong, keempat kaki, dan ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi nasi jakan. Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi masing-masing di batas bidang: utara, selatan, barat, dan timur.

4. Mecaru
Caru dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam bahasa Sanskrit artinya keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka caru artinya binatang yang dijadikan korban untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. Yang dimaksud dengan keseimbangan dan keharmonisan adalah Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik: parhyangan, pawongan, dan palemahan. Parhyangan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan manusia. Palemahan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan alam. Menurut ajaran agama Hindu-Bali, tanpa ketiga keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak akan menemukan mokshartam jagaditha.  Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan saja, tetapi juga untuk memohon keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha. Banten caru yang umumnya digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal Rsigana berdasar Manca sanak.

5. Mendem akah-pedagingan
Mendem artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu, yaitu : emas, perak, tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu) adalah simbol isi bumi, yakni logam dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-pedagingan ditanam pada dasar, dan tengah Padmasana.

6. Memasang orti dan ulap-ulap
Orti adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti adalah pemberitahuan bahwa bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah  rerajahan pada secarik kain putih yang bermakna mensakralkan bangunan pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap dipasang di bawah orti.

7. Mendem bagia-palakerti
Bagia artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan).
Isi bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada Sanghyang Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara ngenteg linggih.

8. Memendak Ida Bhatara
Kata Ida Bhatara artinya "Maha Kuasa yang menyayangi dan melindungi". Menstanakan Ida Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan terdahulu, berarti menstanakan Sanghyang Widhi di bangunan niyasa untuk dipuja. Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat berbagai bentuk, misalnya pretima, gopelan, dan ampilan. Yang umum digunakan adalah ampilan, terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah ampilan disucikan dan dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di ampilan itu. Prosesnya dengan muspa ngider bhuwana mulai menghadap ke timur untuk memuja Ishwara, ke selatan untuk memuja Brahma, ke barat untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja Wisnu, dan ke timur sekali lagi untuk memuja Tripurusha.

9. Mekalahyas
Dengan berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa wateking bhuta-kala  atau roh-roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha dalam usahanya untuk meningkatkan kesucian. Oleh karena itu roh-roh liar ini selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan harapan bila ada upacara maka mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan tirtha amertha dari puja-mantra Pandita. Demikian pula dengan kotak ampilan yang dimohonkan sebagai stana Sanghyang Widhi, tidak luput dari gangguan para roh liar ini. Agar hal itu tidak terjadi maka para roh liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu jalannya upacara dan tidak bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida Bhatara. Lelabaan itu disebut banten kalahyas. Kalahyas terdiri dari dua kata: kala artinya roh liar; hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas artinya banten untuk menyenangkan roh-roh liar.

10. Melasti
Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya kekotoran atau noda; asti artinya dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti, artinya menghanyutkan kekotoran. Upacara melasti dilakukan di laut, karena kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran, dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang. Yang dimaksud dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyukan oleh Sanghyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu. Oleh karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja. Oleh karena itu jika melasti ke laut dianggap sama dengan mendapatkan air dari ketujuh sungai suci itu. Karena tujuan melasti seperti yang diuraikan di atas adalah untuk menghanyutkan kekotoran dan mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan melasti sering disebut: anganyutaken lara-roga tur sarwaning mala, lan amet tirtha amertha kamandalu ring telenging samudra, artinya menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah lautan. Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan dan faedahnya tentu berbeda.

11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan
Ngenteg linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara secara niskala di Padmasana; Karya Pemungkah artinya:  Memohon kesediaan Ida Bhatara berstana di Padmasana; Pedudusan, yang berasal dari kata: pedius-diusan, artinya pensucian.
Prosesi upacara :
Setelah niyasa Ida Bhatara datang dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini Ida Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita. Setelah itu niyasa Ida Bhatara diturunkan dari sanggar tawang, melalui titi-mahmah lalu diletakkan di Bale Peselang. Kemudian Ida Bhatara dihaturi sesajen kemudian di puja-mantra oleh Pandita. Para peserta upacara, bersembahyang memuja Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat dunia. Selanjutnya barulah niyasa Ida Bhatara di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen dan dipuja-mantra oleh Pandita.
Makna upacara :
Meletakkan niyasa Ida Bhatara di sanggar tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat wara-nugraha dari Sanghyang Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu.
Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale peselang, bermakna kehadiran Sanghyang Widhi di alam bwah-loka  untuk menganugrahkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia.
Meletakkan niyasa Ida Bhatara di Pahiasan, bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima haturan, persembahan, dan pujaan dari manusia yang telah mendapatkan sinar suci-Nya.

12. Pemuspaan
Pemuspaan adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja trisandya dan dilanjutkan dengan kramaning sembah. Setelah itu tirtha wangsuh-pada dan bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida Pandita mengisi waktu luang itu dengan dharma-wacana.

13. Mesida-karya
Upacara mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban Ida Bhatara. Didahului dengan menghaturkan banten banten sida-karya, lalu sembahyang bersama, maka niyasa Ida Bhatara berupa kotak ampilan disimpan di tempat yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari piodalan Ida Bhatara. Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan Sanghyang Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai, serta memohon ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada kekeliruan-kekeliruan.

Sampai disini selesailah semua prosesi sejak membangun Padmasana sampai mengupacarainya, sehingga dengan demikian Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa pemujaan  Sanghyang Widhi di setiap saat.


Lampiran: Gambar Padmasana dan Ulap-Ulapnya

* Padmasari



* Padmasana
   

              
* Padma Agung



* Padma Angelayang



Published on: 2008-09-18 (87 reads)

Lis

Oleh: Bhagawan Dwija

Pendahuluan

Lis adalah salah satu bagian penting dari sekelompok banten karena merupakan alat pensucian. Menurut Lontar Yajnya Prakrti, banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Kalimat yang dikutip dari lontar itu: "Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, Ian pinaka anda bhuwana". Artinya: Semua jenis banten melambangkan diri kita sendiri atau umat manusia secara umum, melambangkan kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi, dan melambangkan alam semesta. Dengan kata lain, banten adalah lambang trihitakarana, yakni tiga hal yang mewujudkan kesejahteraan dunia, yaitu parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan alam semesta).
 
Unsur-unsur banten, selain bunga, plawa (dedaunan), buah-buahan, dan tatuwesan atau reringgitan yang penuh dengan ornamen-ornamen indah, dalam Lontar itu ditegaskan sebagai berikut: "Reringgitan, tatuwesan pinaka kalanggengan kayunta mayajnya, Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajnya, Plawa pinaka peh pekayunane suci, Raka-raka pinaka widyadhara-widyadhari". Artinya: bentuk-bentuk ornamen sebagai lambang ketekunan untuk berkorban, bunga sebagai lambang kesucian, dedaunan sebagai lambang pikiran baik, buah-buahan sebagai lambang utusan Dewa-Dewi.

Berbagai Jenis Lis

Salah satu bentuk Lis yang paling populer dan digunakan dalam setiap upacara-upakara, adalah Lis amu-amuan (Bebuu). Lis ini terbuat dari janur dengan isi jejahitan, kemudian diikat menjadi satu, terdiri dari:
1.
Tangga menek: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk tangga naik, sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga hal-hal yang bersifat kebaikan selalu meningkat.
2.
Tangga tuwun: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk tangga turun, sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga hal-hal yang bersifat keburukan berkurang atau hilang.
3.
Jan sesapi: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk burung kecil, sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga tujuan me-yajnya tercapai.
4.
Lilit linting: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk lilitan dalam sebuah lidi, sebagai lambang kebulatan tekad untuk berbhakti kepada-Nya.
5.
Lawat buah: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk buah, sebagai lambang permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi, semoga yajnya yang diselenggarakan mendapat pahala kebaikan.
6.
Lawat nyuh: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk buah kelapa, ditandai dengan menyisipkan secuil sabut kelapa, sebagai lambang permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Bhatara Brahma sang Maha Pencipta, semoga penyelenggaraan yajnya ini direstui dan berjalan lancar.
7.
Tepung tawar: terdiri dari beras berwarna putih, beras berwarna kuning kunyit, dan daun dapdap yang dicincang halus. Beras berwarna putih dan kuning kunyit adalah lambang dari keseimbangan hidup manusia, terutama perwujudan rwa bhineda, misalnya: siang-malam, baik-buruk, lelaki-perempuan, dst. Daun dapdap, dalam Lontar Taru Pramana disebut sebagai don kayu sakti. Sakti artinya kekuatan. Jadi lambang don dapdap adalah kekuatan untuk menjaga keseimbangan-keseimbangan trihitakarana dan keseimbangan-keseimbangan rwa bhineda.

Kramaning Sembah

Kramaning Sembah dalam Panca Yadnya.
1.Pengertian Sembah.
Yang dimaksud dengan sembah ialah sikap menghormati yang disertai dengan rasa bakti dan penyerahan diri secara ikhlas.
2.Landasan.
Menurut agama Hindu bahwa setiap kelahiran dan manusia itu sudah mempunyai hutang yang disebut dengan Tri Rna.
3.Yang dapat disembah:
1.Ida Hyang Widhi Wasa
2.Para Dewa- dewa
3.Para Resi
4.Bhatara/ Leluhur.
5.Manusia.
6.Bhuta.
4.Sikap menyembah.
Adapun sikap menyembah dalam kramaning sembah yaitu sesuai dengan buku Tuntunan Muspa bagi umat Hindu yang disusun oleh I Gusti Ketut Kaler yang diterbitkan oleh Jawatan Agama Hindu dan Budha Prop. Bali tahun 1970/ 1971, dan buku Upadeça tahun 1981/ 1982.
Khusus sikap sembah kepada Resi/ Sulinggih dengan cara cakupan tangan atau mepes ada di antara ulu hati dan dagu.
5.Sarana.
1.Api
2.Air
3.Bunga, dapat dilengkapi dengan kuwangen
6.Mantram.
Sesuai dengan buku Tuntunan Muspa/ buku Upadeça yang disebutkan di atas.
7.Pelaksanaan Sembah dalam Panca Yadnya ialah disesuaikan kepada siapa sembah itu ditujukan.
8.Khusus pada waktu mengucapkan Mantram Tri Sandhya sikap tangan memusti di depan ulu hati.
9.Khusus untuk mendoakan/ ngastawayang bagi jenazah/ roh seseorang yang meninggal dengan berdiri tegak/ pada asama dengan sikap tangan mamusti di pusar.
 
Upacara Sudi Wadani

 
1.Pengertian:
Sudi artinya penyucian, Wadani artinya ucapan- ucapan/ pernyataan berupa kata- kata.
Sudi Wadani adalah penyucian perkataan.
Jadi upacara Sudi Wadani adalah upacara pada waktu melakukan penyucian, menjadi Agama Hindu.
2.Tata cara Upacara Sudi Wadani.
1.Membuat surat permintaan penyucian yang sah.
2.Upacaranya:
1.Mempergunakan bebanten biyakala prayascita dan tataban sesuai dengan kemampuan (utama).
2.Mempergunakan Bhasma air cendana (madya).
3.Mempergunakan air, bunga, bija, (nista),
4.Pelaksanaannya selalu disertai dengan api.
3.Mantram
Om. Sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya, Ang Ung Mang. Om.
Kramaning Sembah
Sembahyang dilakukan umat untuk memuja Tuhan. Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan di mana serta dengan siapa melakukannya. Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu komunikasi yang lancar dan pemuasan rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang terkandung dari setiap langkah dan cara.
Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI.
Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Urutan-urutan sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti berikut ini:

Kisah Leluhur di Rong Kalih

Kisah Leluhur di Rong Kalih
Tanya Jawab Tatwa
Tjok Rai Sudharta
Ngeroras Metak dan di Bale
Dalam upacara ngeroras di Karangasem dimungkinkan dua bentuk pelaksanaan, antaranya; n geroras metak dan ngeroras di bale. Pertanyaan saya, apa beda kedua pelaksanaan ngeroras tersebut? Dari kedua pelaksanaan itu, mana yang bisa digolongkan pada tingkatan nista-madia-utama. Benarkah kalau dengan ngeroras di bale, setelah nuntun Dewa Hyang dilinggihkan Gedong Rong Kalih. Sementara dengan ngeroras metak, setelah nuntun Dewa Hyang dilinggihkan di Sanggah Kemulan Rong Tiga? Terkait dengan pelinggih Sanggah Kamulan, di wilayah lain di Bali jarang orang mendirikan Kemulan Rong Kalih, cukup Sanggah Kemulan Gedong Rong Tiga. Umumnya di Karangasem, selain mendirikan Sanggah Kemulan Rong Tiga, orang juga mendirikan Kamulan Rong Kalih. Pertanyaan saya, siapakah yang berstana di Sanggah Kemulan Rong Kalih, di ruangan kiri kanan. Adakah pendirian Sanggah Kemulan Rong Kalih berdasarkan sastra agama, atau lontar?
I Komang Pastra
Jl. Gajahmada, Amlapura
Jawab:
Dari pertanyaan saudara Komang ada dua butir pertanyaan yang penulis angkat untuk dijawab. Pertama mengenai Dewa Hyang yang “melinggih” di Sanggah Kemulan. Butir kedua mengenai Rong Tiga dan Rong Kalih itu sendiri.
Mengenai Dewa Hyang dapat penulis sampaikan bahwa zaman dahulu antara tahun 2000 sampai dengan 500 S.M telah terjadi perpindahan bangsa Austronesia secara bergelombang dari Asia Tenggara di Ulu Sungai Mekang, Yunan Selatan ke berbagai pulau/kepulauan. Mereka datang antara Madagaskar di barat sampai pulau Paska di timur, dan antara pulau Formusa di utara sampai pulau Selandia Baru di selatan. Termasuk ke kepulauan Nusantara.
Kedatangan mereka ke kepulauan Nusantara terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar tahun 2000 SM, dan gelombang kedua terjadi tahun 500 SM. Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama disebut Proto Melayu. Bangsa Proto Melayu masih menggunakan alat-alat dari batu, tetapi cara pembuatannya sudah sangat halus. Oleh karena itu mereka disebut pendukung kebudayaan batu baru. Dan zamannya disebut zaman Batu Baru (Neolitikum). Diperkirakan bangsa Proto Melayu ini juga pernah mendiami daratan Bali. Hal ini terbukti dari ditemukannya peninggalan-peninggalan zaman Batu Muda tersebar di pulau Bali (Soekmono, 1073).
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang kedua disebut dengan Deutro Melayu. Bangsa Deutro Melayu inilah yang merupakan nenek moyang sebagai orang Bali Asli. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakan dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, yang mereka datang umumnya dari Jawa. Orang-orang Bali Mula adalah keturunan orang-orang pemberani, wira usaha mandiri, pelaut yang ulung, kemudian menjadi petani yang tangguh. Mereka hidup secara berkelompok (Sutaba, 1980:19).
Dari temuan-temuan Arkeologi disimpulkan bahwa ada tiga jenis pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali karena pengaruh Austronesia yang berkembang pada zaman itu, yaitu:
•  Pemujaan terhadap arwah leluhur.
•  Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat.
•  Pemujaan terhadap kekuatan alam.
Roh-roh tersebut dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. oleh karena itu untuk mengambil hati roh-roh tersebut (agar tidak mencelakakan, tetapi sebaliknya memberikan bantuan) maka roh tersebut dipuja melalui persembahan saji-sajian. Yang pertama yang dipuja adalah roh orang-orang besar dan roh nenek moyang, yang disebut Hyang atau Dang Hyang. Roh suci seseorang ditempatkan di Kemimitan Sanggah/Pemerajan.
Mengenai susunan masyarakat nenek moyang pada zaman itu dapat diperkirakan bahwa mereka sudah mempunyai sistem kemasyarakatan yang teratur. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok tertentu menempati wilayah tertentu, yang disebut wanua. Setiap wanua dipimpin oleh yang dituakan dan yang dianggap paling bertuah, yang disebut tuha wahana. Tuha wahana dibantu oleh beberapa perangkat wahana seperti tuha alas, hulu air, hulu watan dan sebagainya. Disamping itu terdapat dewan tuha-tuha sebagai pendamping tuha wanua.
Mata pencaharian utama bagi yang tinggal di pedalaman adalah bertani dan berternak. Sedangkan yang tinggal di pantai adalah menangkap ikan dan pelayaran dengan perahu bercadiknya. Di samping itu terdapat juga pekerjaan-pekerjaan sambilan seperti dukun dan pertukangan. Oleh karena majunya pertukangan pada zaman itu maka zaman itu juga disebut zaman pertukangan (zaman perundagian). Dengan adanya spesialisasi pekerjaan tersebut, maka mulailah sistem perdagangan secara tukar-menukar (barter).
Dengan adanya kemajuan dalam pembikinan alat-alat pertanian maka hasil-hasil pertanian semakin meningkat. Oleh karena itu tukar menukar tidak hanya dilakukan dalam wanua sendiri, tetapi sudah terjadi barter antar wanua. Disamping itu nenek moyang kita yang memang merupakan pelaut-pelaut ulung secara aktif ikut terlibat dalam perdagangan dengan perdagangan luar negeri seperti India dan Tiongkok.
Jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu ke daerah Nusantara, berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan para ilmuwan Barat dan putra Indonesia, di Indonesia telah mempunyai kebudayaan yang tinggi mutunya. Kebudayaan Indonesia asli yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu atau disebut pula Kebudayaan Pra-Hindu atau Pra Sejarah. Kebudayaan ini berakar pada kebudayaan bercocok tanam yang berlangsung pada tahun 2500 SM.
Guna kepentingan pemujaan arwah leluhur, pada masa perundagian masyarakat Indonesia mendirikan bangunan tempat pemujaan yang disebut punden berundak yaitu bentuk bangunan yang teras piramida dimana pada bagian atasnya ditempatkan: menhir. Pada perkembangan selanjutnya menhir sebagai lambang tempat pemujaan arwah leluhur digantikan dengan wujud arca sederhana atau ada yang menyebut arca primitif karena bentuknya memang sangat sederhana.
Beberapa ilmuwan Barat menyatakan pendapat yang sama seperti: Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, 1937 menyatakan: The Balinese Assimilate New and Foreign Ideas Into Tradisional Form. Demikian pula Fritaz A Wagner, 1959 dalam bukunya Indonesia, The Art of an Island Group menyebutkan: On Bali Culture Develop a unique character, Pra Hindu, Hindu-Budha, Hindu Javanese element merged to form unity and diversity.
Menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East Asia , 1968 menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu adalah :
•  Penanaman padi dengan sistem pengairan.
•  Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
•  Teknik menuang logam.
•  Kepandaian dalam pelayaran.
•  Sistem kekerabatan material.
•  Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh leluhur.
•  Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir di atasnya.
•  Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan tempayan.
•  Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut.
Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan: “ The Balinese applaid the aquired knomledge from Indonesian order arrive at his own system”. Sebagai contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah datangnya kebudayaan Hindu. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.
Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura, ada yang dikelompokkan untuk pemujaan roh suci leluhur (bhatara) disebut : Pura Dadia atau Paibon, Padharman dan untuk Hyang Widhi disebut Kahyangan Jagat seperti Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan. Di dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.
Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. Konfigurasi nilai dasar tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Kemudian datang pengaruh agama Hindu dengan filsafat-filsafatnya. Mengenai Sanggah Kemulan Rong Kalih dan Rong Tiga dapat saya ajak saudara ke bidang filsafat yaitu filsafat Sangkhya. Filsafat India ini yang merupakan filsafat dualistis datang juga ke Bali dengan ajaran Cetana dan Acetananya. Karena memang manusia Bali sudah mempunyai kearifan lokal pelajaran filsafat Sangkhya itu diolah sesuai dengan desa kala patra yaitu keadaan daya pikir manusia Bali yang menganut Siwaistis. Oleh karena keadaan Cetana dan Acetana diganti dengan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa Atma yang disebut Maya Siwa Tattwa.
Apabila Cetana dan Acetana terpisahkan akan lenyaplah alam semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari tidur. Cetana itu ada yang bersifat kuat, sedang dan kendor (lemah) maka menurut sifatnya dibagi atas tiga bagian masing-masing dengan nama: Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma atau Sanghyang Mayasiwa Tattwa.
Parama Siwa Tattwa
Parama Siwa Tattwa, menjadi sumber dari segala yang hidup, yang memenuhi luar dan dalam dari segala yang ada, baik yang nampak maupun yang tiada tampak. Dialah kesadaran yang tertinggi yang tiada terjamah oleh lupa yang sejati hidup Dialah yang disebut dengan nama Sanghyang Widhi. Dia kekal tiada berubah, tiada dilahirkan, tua maupun mati. Tiada awal dan tiada akhir. Oleh karena itu tidak dapat mendengar, merasa, melihat, maupun mencium dan berpikir. Benar-benar bersih sebab tiada terjamah rasa suka duka. Ia tiada termasuk ke dalam siklus utpatti, sthiti dan pralina yaitu lingkungan kelahiran, hidup dan mati. Tak dapat dihitung sebab tiada terbilang.
Sadasiwa Tattwa
Kesadaran tingkat kedua berada di bawah Parama Siwa, juga sama bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa. Dijunjung dan dimuliakan serta dipikirkan oleh para Wiku. Meskipun seolah-olah sama kegaiban dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Parama Siwa, namun ada hal-hal yang dapat membedakannya. Dia telah mulai terjamah oleh kebingungan. Tetapi kebingungan yang ada pada beliau itu adalah berupa kekuatan (sakti) yang dapat memenuhi apa yang dikehendaki. Apa yang dipikirkan dan dikehendaki pasti terwujud dalam seketika. Kekuatan yang dapat memenuhi segala kehendak itu disebut juga Cadu Sakti artinya memiliki empat kemahakuasaan yang disebut:
•  Dujana Sakti (memiliki pengamatan tembus, Batel tingal)
•  Wibhu Sakti (memiliki kekuatan yang gaib)
•  Prabhu Sakti (memiliki kekuatan terhadap alam semesta)
•  Kriya Sakti (mempunyai kekuatan membentuk diri sekehendak hati).
Siwatma Tattwa
Kesadaran ketiga di bawah Sada Siwa Tattwa, dinamai Sanghyang Siwatma, juga disebut Sanghyang Mayasiwa Tattwa. Siwatma Tattwa inilah dikatakan mulai tercemar oleh kelembutan dari Tattwa yang berada di bawah yang disebut Acetana, yang berarti lupa atau tak sadar. Kesadaran yang telah bercampur dengan lupa atau bingung. Tegasnya Sanghyang Siwatma Tattwa telah terjamah oleh Triguna (Satwa, Rajah, Tamah).
Kebingungan inilah yang menyebabkan beliau itu gelisah ingin mengadakan Tattwa disini yaitu Purusa Tattwa menurun hingga pada Panca Mahabhuta Tattwa. Perlu pula ditegaskan bahwa Sanghyang Siwa yang tiga itu yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma itu hakekatnya adalah tunggal, semua bersifat suci, dan bersih yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Yang menyebabkan seakan-akan ada perbedaan sebenarnya terletak pada pengaruh kesadaran itu saja.
Demikianlah halnya ketika Sanghyang Siwa itu, dengan kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau ini berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau itu berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau itulah yang kemudian terkena oleh Maya lalu bercampur. Itulah yang disebut Maya Siwa Tattwa. Kalau Cetana (Siwa Tattwa) bertemu dengan Acetana (Maya Tattwa) terjadilah Purusa Tattwa dan Pradana Tattwa.
Kembali pada pokok pembicaraan yaitu Rong Tiga dan Rong Kalih. Bagi arwah yang sudah masuk ke dalam Parama Siwa Tattwa maka beliau yang sudah bersthana di Ruang Tiga tidak lagi akan menitis atau menjadi bagian lagi dari keluarga asalnya.
Sedangkan Beliau yang baru ditingkat Sada Siwa Tattwa apalagi Maya Siwa Tattwa beliaulah yang bersthana di palinggih Ruang Kalih. Beliau masih berkomunikasi dengan warga yang ditinggal, beliau masih bisa “turun” (ngidih nasi) di keluarga-keluarga asalnya.
Tidak ada efeknya antara ngeroras metak atau ngeroras di bale atau upacara nista, madya dan utama sendiri. Yang menentukan adalah karma wasananya. Apakah harus tinggal di Maya Siwa Tattwa atau bisa terbebas ke Parama Siwa Tattwa. Kita bisa menentukan apakah leluhur kita itu bisa “turun” (ngidih nasi) pada keluarga kita atau tidak. Kalau tidak, artinya beliau sudah bersthana di Rong Tiga sudah menyatu dengan Purana Siwa. Memang ada rontal Gong Wesi sebagai berikut:
Yang distanakan di kemulan untuk dipuja bukanlah Dewa tetapi Pitara yang telah mencapai alam Dewa, oleh karena itu disebut Dewa Pitara. Fungsi Merajan Kemulan sebagai tempat Sang Hyang Atma disebutkan dalam beberapa lontar sebagai berikut :
……. ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen Bapanta nga Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga …..
artinya:
……namanya beliau Sang Atma, pada Kemulan kanan sebagai Bapa adalah Paratma, pada Kemulan kiri sebagai ibu namanya Siwatma, pada Kemulan tengah wujudnya adalah sang atma, menjadi ibu bapa pada wujudnya Sanghyang Tunggal mempersatukan diri.
Penjelasan yang hampir sama disebutkan pada Lontar Usana Dewa sebagai berikut:
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya:
Pada kemulan nama Beliau adalah Sang Hyang atma, di Kemulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berwujud Sang Hyang Tuduh.
Ada pengalaman pribadi penulis. Datuk penulis meninggal dan sudah di Palebon dan di Ligya. Suatu saat roh beliau menitis pada keluarga misan penulis. Tetapi umurnya hanya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah meninggal kemudian menitis lagi pada keluarga kakak kandung penulis. Juga umurnya tiga oton. Akhirnya menitis lagi pada keluarga penulis sendiri. Juga umurnya tiga oton (satu setengah tahun). Setelah itu tidak pernah menitis lagi. Menurut pemikiran penulis pada waktu roh beliau menitis tiga kali roh beliau masih di Rong Kalih. Setelah itu roh beliau sudah melinggih di Rong Tiga. Sehingga tidak lagi menitis pada keluarga di dunia fana ini lagi. Jadi sekarang roh beliau yang sudah suci sekali sudah bersatu dengan Parama Siwa. Kalau istilah Bali, beliau sudah sedang ngayah di Pura Dalem sana.
(Majalah Sarad Bali - edisi Juni 2008).