Selasa, 17 November 2009

KONSEP ALAM BERTINGKAT

KONSEP ALAM BERTINGKAT
Oleh : Bhagawan Dwija
Om Swastyastu,
Salah satu filsafat yang berkaitan dengan pola hubungan antara manusia
dengan alam (bagian dari Trihitakarana) adalah konsep keadaan alam yang
bertingkat yaitu "Alam Atas" (Swahloka), "Alam Tengah" (Bhuahloka), dan
"Alam Bawah" (Bhurloka), yang masing-masing mempunyai sifat : Swahloka
adalah Utama, Bhuahloka adalah Madya, dan Bhurloka adalah Nista, dan
dikaitkan dengan "stana" yaitu Swahloka adalah alam Dewa, Bhuahloka
adalah alam manusia, dan Bhurloka adalah alam mahluk rendahan.
Dari pemahaman demikian berkembanglah tatanan : Utama-Madya-Nista
baik secara vertikal maupun secara horisontal. Oleh karena manusia
sebagai konsep sentral pemikiran, maka terjadilah pasangan-pasangan
antinomis seperti :
1.
Kepala manusia disebut sebagai utama, badan disebut sebagai
madya, dan kaki disebut sebagai nista.
Kepala dan badan digabung sebagai "Hulu" dan kaki sebagai "Teben".
Gunung (Keadiya) yang dianggap sebagai stana Dewa-Dewa dipandang
sebagai hulu, dan Laut (Kelot) dipandang sebagai teben. Posisi tidur
meletakkan kepala di hulu dan kaki di teben.
Posisi palinggih-palinggih di Sanggah Pamerajan atau di pura-pura, posisi
duduk diantara orang tua dan anak, antara Sulinggih dan Walaka, dll.
semuanya memperhatikan masalah hulu-teben ini.
2.
Purwadaksina (pradaksina) dan Prasawiya (utarayana), yang artinya
berputar ke kanan (searah jarum jam) dan berputar ke kiri (berlawanan arah
jarum jam), dipahami sebagai peningkatan status atau menuju
Swahloka-Utama (untuk Purwadaksina), dan sebagai penurunan status atau
menuju Bhurloka-Nista (untuk Prasawiya).
Dalam penyelenggaraan upacara yang memerlukan perputaran hendaknya
dipikirkan (jangan dihafalkan) apakah perputaran itu dianggap menuju
Utama atau menuju Nista; jika dianggap menuju Utama, lakukanlah
Purwadaksina; jika dianggap menuju Nista lakukanlah Prasawiya.
Pandita meminta hal ini tidak dihafalkan, tetapi dimengerti, karena untuk
upacara yang sama, tidak selalu perputarannya sama.
Contohnya, upacara mabeakala. Untuk pengantin, mabeakala maknanya
ma-bhuta saksi; oleh karena itu perputarannya ke kiri (Prasawiya). Untuk
Page 1 of 3 .
bapak-ibu yang akan mengupacarakan tiga bulanan anaknya, mabeakala
maknanya meninggalkan masa cuntaka karena melahirkan; oleh karena itu
perputarannya ke kanan (Purwadaksina).
Mekalahyas, dan Ngider Ida Bethara selalu ke kanan (Purwadaksina)
karena menuju Swahloka-Utama.
Memutar mayat/wadah/lembu selalu ke kiri (Prasawiya) karena maknanya
menurunkan status-Nista, dan perpisahan dengan alam Bhuwahloka. Tetapi
perputaran abu jenasah yang akan dihanyut ke segara, dan juga perputaran
abu sekah, selalu dilakukan ke kanan (Purwadaksina) karena maknanya
peningkatan status menuju Swahloka-Utama yaitu dari status Sang Lina
(mayat) menjadi Sang Pitara (ketika Nyekah) dan menjadi Dewa Hyang
(ketika mepaingkup di Sanggah Pamerajan).
3.
Konsep Kiwa-Tengen atau juga disebut sebagai Pangiwa-Panengen atau
dalam Bahasa Indonesia Kiri-Kanan, mengambil anatomi tubuh manusia,
karena manusia dianggap sebagai sentrum (sentral pemikiran).
Konsep ini dikaitkan dengan "Ruabhineda" di mana Kanan adalah Dharma,
dan Kiri adalah Sakti. Filsafat ini masuk ke dalam "Praja" (keluarga) di mana
ibu-ibu rumah tangga disebut sebagai Tengen karena melaksanakan
Dharmaning Praja, yaitu tugas-tugas : mengatur rumah tangga, menyiapkan
bebanten/sajen, memelihara anak-anak, merawat mertua, dll.
Ayah sebagai kepala keluarga berkewajiban menghidupi keluarga atau
dengan kata lain mencari nafkah. Untuk mencari nafkah ia harus bekerja
dengan menggunakan kekuatan badan dan pikirannya atau dengan istilah
filsafat Hindu, ia harus menggunakan kesaktiannya; itu berarti pihak ayah
(laki-laki) disebut sebagai Kiwa.
Lebih jauh filsafat ini memasuki posisi Rong Tiga (Kemulan), di mana rong
sebelah kanan adalah untuk Pradana (Wanita), rong kiri adalah untuk
Purusa (Laki-laki) dan rong tengah untuk Suniaatma.
Kiri-kanan dalam Rong Tiga adalah dari Linggih Kemulan, tegasnya bila
Kemulan menghadap ke Barat, yang kiri adalah yang di Selatan, dan yang
kanan adalah yang di Utara. Bila Kemulan menghadap ke Utara, yang kiri
adalah yang di Barat, dan yang kanan adalah yang di Timur.
Menanam ari-ari, bila bayinya perempuan ditanam di kanan (sebelum)
pemedal rumah, dan bila laki-laki ditanam di kiri (sebelum) pemedal rumah,
kanan dan kiri dari pandangan rumah menuju jalan.
Meletakkan Tugu (Sedahan Karang) tidak memperhatikan kiri-kanan tetapi
memperhatikan hulu-teben. Letakkanlah di bagian teben dari tanah
pekarangan, karena yang di hulu adalah Kemulan Rong-3.
Cara berbusana bagi wanita, ujung wastra dan kampuh selalu menuju ke
Page 2 of 3 .
kanan (dari arah kiri) dan sebaliknya bagi laki-laki.
Sumber sastra : Lontar-lontar Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, dan
Gong Besi.
Om Santih Santih Santih Om
-----------@----------
This page comes from Stiti Dharma Online:
http://stitidharma.org/main
The URL for this page is:
http://stitidharma.org/main/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid
=139

PALINGGIH HYANG KOMPIANG, KAWITAN, PAIBON, PADARMAAN

PALINGGIH HYANG KOMPIANG, KAWITAN, PAIBON, PADARMAAN
Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya
Oleh : Bhagawan Dwija
Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat
karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu
rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat
mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk
Pulau Bali tidak "ngaturang aci" dan bersembahyang ke Pura Besakih.
Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun yaitu sejak tahun
959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar
dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai
Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan
sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura
Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang
ke Besakih.
Setiap yang datang ditangkap lalu digiring ke hadapan raja Mayadanawa.
Disaksikan oleh para patihnya yaitu Kryan Patih Kalawong dan Kryan
Bedawong, Raja lalu bersabda : "Renge ling ngong, samangke ngong
angrenge wrtha kunang padartanya ring Basukih hana Dewa, hana Dalem;
ndi hana Dalem waneh lawan ingong, ingong Dalem, ingong Dewa yatika
tan tuhu mangkana sinembah dening wong Bali... dst... iti ta wang ingong
Dalem jati, yan ri Dalem Kadewatan dudu Dalem, ing Basukih dudu Dewa,
ingong Dewa jati, ingong haturi widhi wedana mwah sembahen ta ingong
asung uripta, mwah samidinta... dst"
Jadi, singkatnya, Mayadanawa telah menyatakan dirinya : "akulah Dewa
yang patut kamu sembah, janganlah menyembah Dewa yang ada di
Besakih".
Ini membuat para Dewa di Kahyangan memutuskan untuk memusnahkan
Mayadenawa. Bhatara Indra diutus untuk tugas suci ini, dan akhirnya
Mayadanawa dikalahkan. Bhatara Indra lalu menitahkan agar rakyat Bali
membangun kahyangan di Desa masing-masing, taat ngaturang aci, dan
bersembahyang di Besakih.
Aci yang dititahkan itu adalah : Eka Bwana, Panca Walikrama, dan Eka
Dasa Rudra. Di saat itu Ida Bethara Samodaya nyejer di Besakih, dan
ketangkil oleh seluruh rakyat yang tinggal di Pulau Bali. Bagi Para Rsi, Mpu,
dan arwah leluhur perintis pertama yang datang di Bali dibuatkan palinggih
di Besakih agar dapat ngiring Ida Bethara Samodaya.
Itulah antara lain yang merupakan awal dibangunnya Pura Pedarmaan di
Besakih. Kemudian perkembangan ini lebih pesat setelah kedatangan Mpu
Kuturan di Bali pada tahun 1001 Masehi. Beliau menata kembali
Page 1 of 3 .
parahyangan mulai dari Sanggah Kemulan Rong Tiga untuk pawongan
(rumah tangga),
Sanggah Pamerajan untuk beberapa rumah tangga, di mana dipuja arwah
suci para leluhur yang berasal dari garis satu waris; lebih besar dari
Sanggah Pamerajan adalah berturut-turut : Pura Panti dan Pura Paibon,
untuk penyungsungan bagi beberapa Sanggah Pamerajan, Pura Dadia
untuk penyungsungan bagi beberapa Panti dan Paibon, dan Pura Kawitan,
untuk penyungsungan bagi beberapa Dadia.
Perbedaan status Pura-Pura tersebut ditentukan oleh :
1. Jumlah penyungsung.
2. Jumlah dan jenis Palinggih yang ada.
3. Historis (sejarah berdirinya Pura-Pura itu).
Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti,
Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/
susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena
masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah
pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena
demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam
hitungan abad (ratusan tahun).
Selanjutnya mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai
berikut : Palinggih Hyang Kompiang merupakan fenomena baru dalam
perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970 yaitu
beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa
Rudra (1963) di Pura Besakih.
Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan untuk "membersihkan" setra, sehingga
pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben. Upacara pengabenan dilanjutkan
dengan nuntun Dewa Hyang/Hyang Kompiang ke Pura Dalem Puri di
Besakih. Setelah nuntun lalu Dewa Hyang distanakan di Sanggah
Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas; palinggih itu
dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa Hyang.
Tempatnya berbeda-beda, ada yang di jeroan Sanggah Pamerajan, ada
pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan. Sumber sastra mengenai
Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.
Dasarnya membangun Palinggih Dewa Hyang kemungkinan adanya
persepsi yang berbeda mengenai fungsi Kamulan yang menyatakan bahwa
Kamulan adalah stana Sanghyang Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Iswara
atau Sanghyang Tiga Sakti, oleh karenanya Dewa Hyang kurang tepat
distanakan bersama-sama dengan Sanghyang Tri Murti, sehingga perlu
dibangun palinggih tersendiri.
Banyak sumber sastra tegas-tegas menyatakan bahwa Kamulan adalah
stana Atman yang sudah bersih.
Page 2 of 3 .
Kutipan Lontar Gong Wesi : "...ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen
Bapanta nga Sang Paratma ring Kamulan Kiwa ibunta ngaran sang Siwatma
ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring
dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga..."
Kutipan Lontar Usana Dewa : "...ring Kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
ring Kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring kamulan kiwa ibu
ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma
dadi meme bapa meraga Sanghyang Tuduh"
Kutipan dari Lontar Siwagama : "...kramania Sang Pitara mulihang batur
Kamulanya nguni..."
Selanjutnya adalah kutipan Lontar Purwabhumi Kamulan : "...ring wus
mangkana, ikang daksina pengadegan Sang Dewa Pitara tinuntunakena
maring sanggah Kamulan, yan lanang unggahakena maring tengen, yan
wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya
nguni, winastu jaya-jaya de sang Pandita kina bhaktyanana muwah dening
swarganya mwang sentanan nira..."
Semua bukti sastra itu dikuatkan dengan konsep Sanggah Pamerajan
menurut Mpu Kuturan, bahwa Sanggah Pamerajan adalah tempat suci untuk
pemujaan arwah leluhur, di mana palinggih utamanya adalah Kamulan.
Pemujaan terhadap roh leluhur yang suci didasarkan pada pengertian
bahwa karena tujuan akhir adalah bersatunya Atman dengan Brahman (Ida
Sanghyang Widhi atau Sanghyang Tri Murti atau Sanghyang Tiga Sakti)
maka roh suci leluhur itu disembah, didoakan, dan di-identikkan dengan
Sanghyang Tiga Sakti (dalam konsepsi Moksha).
Di sinilah letak perbedaan persepsi yang dikemukakan di atas.
-----------@----------
This page comes from Stiti Dharma Online:
http://stitidharma.org/main
The URL for this page is:
http://stitidharma.org/main/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid
=147
Page 3 of 3 .

Yadnya sesa

Yadnya sesa/banten saiban merupakan salah satu yadnya atau persembahan yang dilakukan setiap hari yang sering di sebut dengan Nitya Karma. Yadnya sesa ini dilakukan setelah selesai memasak dan sebelum menikmati makanan yang telah dimasak.
Melaksanakan persembahan atau yadnya merupakan kewajiban serta tugas bagi umat Hindu untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas dan kewajiban tersebut hendaknya dilandasi dengan dharma dan etika yang baik serta ketulusan hati. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian yadnya merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus iklas tanpa adanya harapan untuk medapatkan imbalan-imbalan.
 
Yadnya sesa atau mebanten nasi seusai masak juga merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Dengan tujuan agar memperoleh kehidupan dan penghidupan, dengan mengambil pijakan dari sloka Bhagawad Gita III, 13 yang berbunyi :
Yadjna sistasinah santo, Mucuante sarwa kilbisaih, Bunjate te twagham papa, Ye pacanty atma karanat.
 
Yang artinya " ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosanya sendiri ".
 
Penggambaran dari sloka tadi berarti bahwa sebelum menikmati sesuatu persembahkanlah terlebih dahulu sebagai cetusan Angayubagia atas Waranugrahanya. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini. Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yadnya sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup didunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri, hidup untuk meyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri.

Dari penjelasan tadi tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryadnya, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yadnya sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yadnya sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yadnya sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menenteramkan kehidupan makhluk yang lainnya. Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Serta diperlukan pula bantuan dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan "Panca Maha Butha" yakni adanya kekuatan tanah/pertiwi, air/apah, panas/api/teja, angin/bayu, ether/akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kemahakuasaan Hyang Widhi melalui maifestasinya yang disebut dengan Tri Murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyupatannya. Dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperolehlah nasi itu. Proses inilah yang merupakan suatu kerjasama manusia baik secara Sekala maupun Niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu di persembahkan kembali pada kekuatan alam lainnya melalui yadnya sesa/banten saiban itu sendiri.

Dengan demikian dapatlah di artikan bahwa yadnya sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makananya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran dan garam yang dialasi dengan taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatiya. Persembahan yadnya sesa ini di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting. Kita sebagai umat Hindu dan sebagai umat manusia yang diciptakan dengan yadnya, maka sudah sepatutnyalah kita melaksanakan yadnya; baik untuk menyucikan diri, mendekatkan diri pada Tuhan maupun sebagai ucapan terima kasih kita pada apa yang telah kita peroleh di dunia ini.

Pitra Yadnya

 
1.Latar belakang dan pengertian.
Melaksanakan upacara yadnya termasuk di dalamnya upacara Pitra Yadnya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat Hindu. Upacara Pitra Yadnya terdiri dari:
1.Upacara Sawa Wedana
bermakna mengembalikan unsur- unsur Panca Maha Bhuta (Sthula sarira) dan menyucikan
atma orang yang telah meninggal) dunia.
2.Upacara Atma Wedana
bermakna menyucikan suksma sarira dan atma sebagai kelanjutan dari upacara Sawa Wedana. Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Dewa Hyang) dapat dilaksanakan berupa menstanakan kembali atma (roh suci) yang diyakini telah mencapai "Atmasiddha dewata".
di Sanggah Kamulan (Pemerajan) atau Pura Kawitan (Pura Leluhur).
2.Tujuan dan fungsi upacara.
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Menstanakan Dewa Hyang/ Atma leluhur diyakini telah suci) bertujuan untuk menjalin bhakti keturunan atau santana dengan para leluhur di samping juga melalui para leluhur umat manusia dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi.

Adapun fungsi upacara pemujaan kepada para leluhur ini adalah sebagai sarana supaya para leluhur dapat memberikan perlindungan dan pengayoman kepada keturunannya, di samping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
3.Tata Pelaksanaan.
1.Rangkaian upacara
1.Setelah melaksanakan upacara Atma Wedana, dilanjutkan pula dengan upacara Nyegara Gunung/ Nyegara Giri atau Majar- ajar ke laut dan ke gunung.
2.Upacara selanjutnya adalah menstanakan atau Ngalinggihang Dewa Pitara atau Dewa Hyang dengan rangkaian sebagai berikut
1.Nuntun dari pura Dalem (Kahyangan Tiga, Segara atau Pura Dalem Puri Besakih.
2.Dilanjutkan dengan upacara menstanakan Ngalinggihang di Sanggah Kamulan (Pamerajan) atau Pura Kawitan (leluhur).

Penjelasan :
3.Bagi yang nuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga)
Pertama melaksanakan upacara mempersembahkan sesajen (ayaban) ke hadapan Ida Bhatara di pura Dalem (Siwa). Selanjutnya pimpinan upacara (Pinandita atau. Pandita) memohon supaya leluhur keluarga yang bersangkutan (yang memohon) diperkenankan disthanakan pada Sanggah Kamulan (Pamerajan), Pura Kawitan atau pura leluhur.
Sarana yang dipergunakan adalah "Daksina palinggih" yang kemudian dilanjutkan dengan upacara Pradaksina mengelilingi palinggih Pura Dalem tiga kali. Sebelum upacara ini dilaksanakan terlebih dahulu dipersembahkan Segehan Agung dengan "penyambleh ayam Hitam". Dewa Pitara (Dewa Hyang kemudian diiring menuju Sanggah Kamulan (Pemerajan), Pura Kawitan atau Pura Leluhur untuk disthanakan.
4.Bagi yang memilih nuntun dari segara rangkaian upacaranya hampir sama dengan menuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga) dengan tambahan mapekelem (persembahan sesajen yang dilabuh ke laut) berupa sajen suci hitam, itik hitam dan salaran.
5.Bagi yang memilih menuntun di Pura Dalem Puri upacaranya lebih besar dan upacara (l) dan (2) di atas. dengan pertama melaksanakan upacara di Pura Segara Gua Lawah dan dilanjutkan. dengan upacara ke Pura Dalem Puri. Sebelum menuju Pura
Dalem Puri terlebih dahulu mempersembahkan sesajen "Piuning" ke Pura Manik Mas, Bangun Sakti, Ulun Kulkul, Pura Gua dan Pura Banua.
Perjalanan selanjutnya dan Pura Manik Mas menuju pura Dalem Puri terlebih dahulu menyeberangi Titi Gonggang dan Batu Macepak yang terletak pada jurang sebelah barat Pura Manik Mas.
Pada kedua tempat ini (Titi Gonggang dan Batu Macepak) mempersembahkan sesajen Pejati atau Penebusan. Setelah selesai memohon Dewa Pitara di Dalem Puri dilanjutkan dengan mempersembahkan Pejati di Pura Basukihan, Padharman (bila yang bersangkutan memiliki Padharman) dan diakhiri dengan mempersembahkan Pejati di Pura Penataran Agung.
2.Upakara (Sesajen).
Adapun upakara atau sesajen dan sarana yang merupakan inti adalah : Banten saji Dewa Putih Kuning, Jerimpen Agung, Sesayut, Pangulapan, Pengambyan, Benang Tri Datu (tiga .warna : merah, putih, hitam) satu tukel (satu gulung),uang kepeng 225 biji yang diikatkan pada benang
tridatu. Sebuah tutup (tombak) yang diikat dengan benang tridatu dialasi l buah kelapa yang dikupas serabutnya, diisi beras, pada ujung tombak dilengkapi dengan "Sat- sat" dari janur di samping sebuah daksina palinggih dan kain sebagai Tigasana.
Penjelasan:
Jumlah dan sarana upakara (sesajen) disesuaikan dengan kemampuan (desa, kala, patra) serta petunjuk Pinandita atau Pandita.
3.Puja Mantra :
Puja Mantra disesuaikan dengan manifestasi Sang Hyang Widhi yang dipuja :
1.Durgastawa.
2.Sagarastawa.
3.Pertiwistawa.
4.Gurustawa.
5.Saraswatistawa.
6.Prajapatistawa.
7.Dan lain- lain sesuai dengan lokasi pura dan sarana upakaranya.

Penjelasan :
Bila yang memimpin upacara seorang Pinandita (Pamangku) hendaknya mempergunakan "seha" sesuai dengan kewenangannya.
4.Sumber ajaran.
Pemujaan Dewa Pitara atau Pitara yang telah suci adalah merupakan salah satu pokok ajaran agama Hindu yang mengajarkan penyembahan kepada leluhur yang telah suci atau Dewa Pitara di samping menyembah Ida Sang Hyang Widhi dan Dewa- Dewa sebagai manifestasi Nya. Pemujaan leluhur yang telah suci itu diajarkan dalam kitab suci agama Hindu dan sastra- sastranya yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan umat di mana agama Hindu itu berkembang. Sumber- sumber ajaran tersebut antara lain sebagai berikut:
1.Weda.
2.Itihasa dan Purana.
3.Negara Kertagama.
4.Wrhaspatitattwa.
5.Siwagama
6.Siwatattwapurana.
7.Purwabhumikamulan.
8.Puja Mamukur.
9.Yama Purwanatattwa.
10.Pitutur Leburgangsa.
11.Sanghyang Leburgangsa.
 

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru
 
1.Pengertian.
Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
2.Fungsi Meru ada dua macam.
1.Tempat pemujaan Istadewata seperti meru di Kiduling Kreteg tempat pemujaan Brahma, dan sebagainya. Di Pura Batu Madeg tempat pemujaan Wisnu.
2.Tempat pemujaan bhatara-bhatari seperti pada padarman-padarman di komplek pura Besakih dan sebagainya.
3.Untuk membedakan jenis meru, pemujaan istadewata dan bhatara- bhatari antara lain
1.Dari segi pedagingan.
2.Dari .segi puja/ stawa.
3.Bentuk meru
1.Ciri umum bentuk meru
1.Dapat dibedakan dasar, badan, atap
2.Bangun dasarnya segi empat
2.Khusus
1.Ada jenis meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan tempat untuk sembahyang, dan ada pula meru yang badannya berbentuk "banyah" (pejal) yang ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat bersembahyang
2.Atap meru bertumpang dan sebanyak- banyaknya tumpang- 11 (sebelas)
3.Arti susunan atap meru yang pada umumnya gasal adalah melambangkan patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara.
3.Struktur
1.Bagian dasar menggunakan struktur masif (pejal)
2.Bagian badan dan atap memakai struktur kerangka. Bahannya diutamakan memakai kayu dan atap ijuk.
Catatan
Rumusan tinjauan filosofis dan fungsi meru ini dapat merupakan penguat dan pelengkap dari keputusan tentang meru sebelumnya.

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru

Tinjauan Filosofis dan Fungsi Meru
 
1.Pengertian.
Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
2.Fungsi Meru ada dua macam.
1.Tempat pemujaan Istadewata seperti meru di Kiduling Kreteg tempat pemujaan Brahma, dan sebagainya. Di Pura Batu Madeg tempat pemujaan Wisnu.
2.Tempat pemujaan bhatara-bhatari seperti pada padarman-padarman di komplek pura Besakih dan sebagainya.
3.Untuk membedakan jenis meru, pemujaan istadewata dan bhatara- bhatari antara lain
1.Dari segi pedagingan.
2.Dari .segi puja/ stawa.
3.Bentuk meru
1.Ciri umum bentuk meru
1.Dapat dibedakan dasar, badan, atap
2.Bangun dasarnya segi empat
2.Khusus
1.Ada jenis meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan tempat untuk sembahyang, dan ada pula meru yang badannya berbentuk "banyah" (pejal) yang ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat bersembahyang
2.Atap meru bertumpang dan sebanyak- banyaknya tumpang- 11 (sebelas)
3.Arti susunan atap meru yang pada umumnya gasal adalah melambangkan patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara.
3.Struktur
1.Bagian dasar menggunakan struktur masif (pejal)
2.Bagian badan dan atap memakai struktur kerangka. Bahannya diutamakan memakai kayu dan atap ijuk.
Catatan
Rumusan tinjauan filosofis dan fungsi meru ini dapat merupakan penguat dan pelengkap dari keputusan tentang meru sebelumnya.

Tatacara membangun rumah

1.Landasan filosofis, etis. ritual
1.Landasan filosofis.
1.Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
2.Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
2.Landasan Etis
1.Tata Nilai.
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala
2.Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
3.Landasan ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

2.Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam:
1.Keseimbangan alam
2.Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3.Tri Angga dan Tri Mandala.
4.Harmonisasi dengan lingkungan.
 
5.Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
6.Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
7.Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap,
Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
8.Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

3.Pemilihan Tanah Pekarangan.
1.Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
2.Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
1.karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3.karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4.karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5.karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6.karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7.karang tenget,
8.karang buta salah wetu,
9.karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10.karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11.tanah yang berwarna hitam- legam, berbau "bengualid" (busuk)
3.Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

4.Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
1.Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
2.Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
3.Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

5.Dewasa Membangun Rumah.
1.Dewasa Ngeruwak:
Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
2.Nasarin:
Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
3.Nguwangun
Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
4.Mengatapi
Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
5.Memakuh/ Melaspas
Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

6.Upacara Membangun Rumah.
1.Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae.
Setelah "Angrubah sawah" dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
2.Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
3.Upakara Pemelaspas.
Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng.
Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara dan upakara tersebut di atas disesuaikan
dengan kondisi setempat